Universitas Airlangga Official Website

Tantangan Diagnostik di Waldenstrőm Macroglobulinemia

Ilustrasi by BMC blog network

Waldenstrom macroglobulinemia (WM) adalah penyakit hematologi dorman yang langka. Ini sering bermanifestasi pada orang berusia di atas 60 tahun dan dianggap sebagai kelainan herediter dengan mutasi gen MYD88 dan CXCR4. Di Indonesia, rekam medis WM sangat terbatas sehingga berpotensi menimbulkan misdiagnose atau mistreatment. Artikel ini melaporkan kasus pasien WM dan penegakan diagnosisnya yang menantang.

Seorang wanita berusia 67 tahun dirujuk dengan keluhan utama pembengkakan ekstremitas dengan anemia berulang, nyeri tulang, dan peningkatan fungsi ginjal. Elektroforesis protein menunjukkan gammopathy monoklonal, diduga sebagai multiple myeloma. Namun, pemeriksaan lebih lanjut tidak mendukung diagnosis multiple myeloma karena hasilnya menunjukkan peningkatan mikroglobulin B2 (5,65 mg/L). Imunofiksasi IgM menyarankan gammopati monoklonal IgM lambda. Aspirasi sumsum tulang (BMA) menunjukkan sel limfoplasmasitik dominan (68%) dan uji flowcytometry plasma serum menunjukkan CD10 dan CD34 positif, sedangkan CD5 dan CD19 negatif. Diagnosis banding juga telah dikesampingkan satu per satu untuk memberikan pengobatan yang tepat bagi pasien. Setelah semua pemeriksaan, pasien akhirnya didiagnosis dengan WM dan diobati dengan rejimen bortezomib, deksametason dosis rendah, dan rituximab (BDR) selama lima siklus.

WM adalah kasus penyakit hematologi yang jarang terjadi dan diagnosis kasus ini dapat menghadapi tantangan karena kesulitan diagnostik. Elektroforesis protein dan BMA dapat membantu meningkatkan proses diagnosis.

Waldenström macroglobulinemia (WM) adalah gangguan hematologi langka dengan manifestasi subklinis. Perkiraan kejadian penyakit ini adalah 1-3% dari semua onkologi hematologi di seluruh dunia. Sekitar 1500 kasus baru telah dilaporkan setiap tahun dengan prevalensi yang lebih tinggi di antara orang Kaukasia dibandingkan dengan orang Afrika-Amerika.1 Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tumbuh lambat, onset lambat, dan kebanyakan muncul pada orang tua.2,3

Namun di Indonesia, WM jarang ditemui. Penjelasan potensial untuk hal ini mungkin karena minimnya catatan di Indonesia. Kemiripannya dengan penyakit lain seperti multiple myeloma membuat diagnosis penyakit menjadi sulit, dan terapi yang diberikan mungkin tidak sesuai dengan pedoman yang ada. Selain itu, kriteria diagnostik yang diterima secara global tidak memadai telah menghambat kemajuan penyakit WM. Oleh karena itu, laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kemungkinan diagnosis yang dapat dilakukan dan ditetapkan terhadap pasien.

Seorang wanita 67 tahun dengan keluhan utama bengkak pada kaki kiri dan tangan kanan selama satu minggu dirawat di RS Dr. Soetomo Surabaya. Pasien mengalami mati rasa, kaku, sesak napas, nyeri punggung, dan kelelahan selama 6 bulan terakhir. Tidak ada limfadenopati atau pembesaran organ yang diamati pada pasien. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus yang dikontrol dengan metformin dan gliklazid tanpa insulin, serta memiliki riwayat keluarga myeloma. Tidak ada riwayat hipertensi, CVA, atau trauma sebelumnya. Lima bulan lalu, pasien juga dirawat di rumah sakit dan diduga menderita multiple myeloma (MM) karena anemia, nyeri tulang, peningkatan fungsi ginjal, dan gamopati monoklonal yang diperoleh dari elektroforesis protein. Namun, setelah pengobatan, fungsi ginjal menjadi normal dan tidak ditemukan litik tulang.

Manifestasi hiperkalsemia tidak memenuhi kriteria MM. Diagnostik kemudian dilanjutkan aspirasi sumsum tulang, menunjukkan terjadinya sel lymphoplasmacytic dominan (68%) dan aktivitas sel plasma, yang mengarah ke kecurigaan makroglobulinemia Waldenström (Gambar 1). Uji lebih lanjut dilakukan dan diamati peningkatan mikroglobulin B2 (5,65 mg/L). Pemeriksaan imunoserologi menunjukkan Kappa rantai ringan bebas 18,08 mg/dL dan lambda rantai ringan bebas 21,38 mg/dL, dengan rasio kappa/lambda 0,8457. Uji Imunofiksasi IgM mengungkapkan gammopati monoklonal IgM lambda. Analisis flowcytometry serum plasma menunjukkan CD10 dan CD34 positif, sedangkan CD5 dan CD19 negatif. Ultrasonografi Doppler menunjukkan trombus di vena femoralis bilateral. Berdasarkan semua hasil tes, pasien didiagnosis dengan makroglobulinemia Waldenström. Pasien kemudian menjalani rejimen bortezomib 5 siklus, deksametason dosis rendah, dan rituximab (BDR).

Penulis: Dr. S. Ugroseno Yudho Bintoro, dr. Sp.PD.K-HOM.FINASIM

Link Jurnal: https://balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/3160