Penyakit genetik menyebabkan beban fisik, psikososial dan ekonomi bagi pasien, anggota keluarga dan masyarakat. Mengurangi kualitas hidup dan kesejahteraan mereka yang terkena telah dilaporkan dalam berbagai penyakit genetik. Fokus pengobatan saat ini adalah mengurangi gejala penyakit. Namun, menemukan pengobatan kuratif dapat membawa manfaat, termasuk mengurangi beban dan meningkatkan kualitas hidup.
Karena penyakit genetik disebabkan oleh kerusakan DNA atau mutasi, maka pengobatan kuratif dapat dilakukan dengan memasukkan DNA/RNA yang benar ke dalam sel, membuang atau mengubah gen yang rusak sehingga dapat memproduksi protein yang berfungsi. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan terapi gen. Beberapa terapi gen telah disetujui oleh FDA US, termasuk Kymriah® untuk leukemia, Luxturna™ untuk penyakit genetik pada retina, Zolgensma® untuk Spinal Muscular Atrophy, eteplirsen untuk Duchene Muscular Dystrophy, Trikafta® untuk cystic fibrosis, dan Zynteglo™ untuk talasemia yang masih dalam pertimbangan.
Meskipun terapi gen memberikan solusi terobosan untuk penyakit genetik dan berpotensi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pasien dan anggota keluarga, biaya dan akses ke perawatan menjadi tantangan utama. Masalah etika mengenai keamanan dan risiko terapi gen juga menjadi perhatian berbagai pihak. Terlepas dari kontroversi ini, mahasiswa kedokteran, sebagai pengguna masa depan perawatan ini, perlu memahami teknologi ini untuk menyetujui dan mengembangkan teknologi ini.
Sebuah penelitian terhadap 1.054 mahasiswa kedokteran dan dokter di Indonesia menunjukkan hanya 16% responden yang mengetahui tentang pengeditan genom, yang merupakan salah satu metode terapi gen yang melibatkan modifikasi genom. Oleh karena itu, kami melakukan survey daring untuk mengetahui sikap mahasiswa kedokteran di Indonesia terhadap terapi gen yang disetujui yang berpotensi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan anak-anak dengan penyakit genetik.
Dari 621 responden, didapatkan bahwa mahasiswa kedokteran Indonesia kurang mengenal terapi gen, hanya 37,3% mahasiswa praklinis dan 23,4% mahasiswa klinik (34,4% dari total responden) yang pernah mendengar tentang teknologi ini. Responden di kedua kelompok lebih akrab dengan makanan hasil rekayasa genetika (masing-masing 45,4 dan 54,7%). Dari jumlah tersebut, hanya 20% responden yang pernah mendengar tentang teknologi rekayasa genetika ini, sementara 38,2% dari mereka tidak pernah mendengar tentang masalah ini. Temuan ini menunjukkan bahwa responden lebih sadar akan makanan yang dimodifikasi secara genetik dibandingkan dengan terapi gen, meskipun FDA telah menyetujui beberapa terapi gen dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi selama pandemi saat ini, terapi gen sedang dibahas karena kekhawatiran publik tentang efek RNA dan vaksin vektor virus untuk mengubah genom. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa vaksin tersebut tidak memiliki kemampuan yang signifikan untuk integrasi genom, penelitian yang muncul menunjukkan kemungkinan lain yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Mahasiswa kedokteran lebih setuju jika terapi gen digunakan untuk hal yang berhubungan dengan kesehatan, seperti mengobati penyakit fatal, dan penyakit genetik menyebabkan aktivitas terbatas Mereka juga mendukung penerapan terapi gen yang disetujui jika mereka memiliki anak dengan penyakit genetik. Saat ini terapi gen tidak boleh digunakan dalam embrio dan untuk tujuan peningkatan kemampuan seseorang, sehingga hanya 60% responden yang menyetujui penggunaan terapi gen pada embrio, dan hanya 31,6% yang setuju dalam hal peningkatan kemampuan seseorang seperti kekuatan, kecantikan, kepintaran, dll. Faktor sosiodemografi yang menentukan penerimaan akan teknologi inni adalah jenis kelamin, domisili dan status kemahasiswaan (preklinik atau klinik).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa meskipun tidak terlalu mengenal terapi gen, sebagian besar responden setuju pada penerapan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan seperti mengobati penyakit genetik. Penerimaan mereka ditentukan oleh jenis kelamin, domisili dan status kemahasiswaan. Mengingat adanya kemungkinan penerapan terapi gen di Indonesia di masa depan, maka peningkatan pengetahuan mahasiswa kedokteran tentang terapi gen menjadi penting untuk meminimalkan konflik yang mungkin terjadi, terutama mengenai masalah keamanan dan etika.
Penulis: Annette d’Arqom, dr., M.Sc.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.future-science.com/doi/10.2144/fsoa-2021-0130
Setyanto, D., d’Arqom, A., Indiastuti, D. N., Qurnianingsih, E., Hasanatuludhhiyah, N., Izzah, S. N., Nasution, M. Z., & Yusof, J. (2022). Medical student acceptance on gene therapy to increase children’s well-being with genetic diseases: a study in Indonesia. Future science OA, 8(6), FSO800. https://doi.org/10.2144/fsoa-2021-0130