Universitas Airlangga Official Website

Tindak Aborsi Menurut Ahli Obgyn RSUD dr Soetomo dan FK UNAIR

Ilustrasi seorang wanita hamil yang berkeinginan untuk lakukan aborsi (sumber: Freepik Pinterest)

UNAIR NEWS – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)  nomor 28 tahun 2024 mengenai pelaksanaan undang-undang (UU) nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Salah satu yang diatur adalah terkait tindak aborsi yang legal  bagi korban pemerkosaan, namun dengan syarat dan ketentuan tertentu. 

Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan pendapat melalui sudut pandang keilmuannya. Menurut kacamata dr Riza, aborsi merupakan salah satu tindakan yang dilarang dalam hukum di Indonesia, kecuali terdapat kondisi kedaruratan medis. 

Senada dengan dr Riza, staf obgyn RSUD dr Soetomo Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR, dr Budi Prasetyo menyampaikan bahwa terdapat kriteria atau syarat tertentu bagi perempuan hamil untuk dapat melakukan tindak aborsi. “Sebenarnya, memang dalam UU KUHP pun yang boleh melakukan aborsi ialah korban pemerkosaan, cacat berat, atau mengancam jiwa ibunya,” tuturnya. 

Ahli obgyn RSUD dr Soetomo dan FK UNAIR dr Budi Prasetyo (foto: dok pribadi)

Dr Budi menerangkan bahwa terdapat dua macam tindak aborsi. Pertama aborsi medisinalis, yakni tindakan aborsi dikarenakan adanya indikasi kondisi secara medis. Kedua aborsi provokatus kriminalis, yakni tindak aborsi yang disengaja dan disadari oleh alasan yang tidak legal dimata hukum karena tidak adanya indikasi medis yang mengancam kesehatan dan keselamatan sang ibu. 

Diantara keduanya, yang perlu diwaspadai ialah dampak dari tindakan aborsi provokatus kriminalis. Aborsi provokatus kriminalis merupakan aksi aborsi yang disengaja, biasanya tidak dilakukan di fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang kompeten. 

“Dampaknya seperti infeksi karena melakukan aborsi di tempat yang tidak memenuhi syarat, sehingga resiko infeksi dan perdarahan meningkat. Hal itu perlu dihindari untuk mengurangi resiko yang akan didapat oleh ibu dari kecacatan atau kematian,” terang dr Budi.

Namun, untuk tindak aborsi karena adanya indikasi kondisi kesehatan secara medis yang dapat mengancam keselamatan sang ibu lebih kecil kemungkinan akan adanya resiko infeksi dan pendarahan. Selama tindakan tersebut dilakukan sesuai prosedur dan di fasilitas kesehatan yang kompeten. 

“Untuk aborsi medisinalis atau karena terindikasi oleh kondisi medis tertentu, selama dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, maka harapan dari tindakan aborsi ini dapat menurunkan resiko dari tindakan aborsi ini,” jelasnya.

Kemudian, untuk mengambil tindakan aborsi, dr Budi menyampaikan bahwa sebaiknya dilakukan pada trimester pertama kehamilan. Menurutnya, akan lebih baik dilakukan pada usia kandungan berada pada usia enam minggu dan tidak lebih dari empat belas minggu

“Jadi amannya itu tidak lebih dari trimester pertama atau tidak lebih dari enam minggu itu akan lebih mudah dilakukan. Jadi kalau memang sudah lebih dari dua belas minggu jadi lebih beresiko karena janinnya pasti lebih besar,” jelas dr Budi. 

Sebagian perempuan tentu memiliki kekhawatiran terkait kondisi kesehatan serta peluang untuk dapat hamil lagi setelah terjadi pengangkatan janin atau aborsi. Terlebih, bagi mereka yang terpaksa harus mengaborsi janin demi kesehatan dan keselamatannya.

Berkenaan dengan hal tersebut, dr Budi menyampaikan bahwa efek aborsi bergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Mulai dari kualitas sperma dari pihak laki-laki dan sel telur yang matang hingga organ reproduksi yang berfungsi dengan baik dari pihak perempuan. 

“Maka jika hal-hal seperti itu tidak ada masalah, harapannya tidak ada gangguan pada masa kesuburan. Karena masa kesuburan itu banyak faktornya, tapi memang 60% faktor istri dan 40% faktor suami,” tuturnya.

Penulis: Syifa Rahmadina

Editor: Edwin Fatahuddin