Universitas Airlangga Official Website

Tingkat Literasi dan Kinerja Perekonomian

Ilustrasi by detik,com
Ilustrasi by detik,com

Problema dunia pendidikan di Indonesia sagat beragam. Satu di antaranya adalah tingkat literasi atau minat baca cukup rendah. Melansir RRI, Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2022 menempatkan tingkat literasi Indonesia pada peringkat ke-11 terbawah dari 81 negara yang mengikuti survei.

Laporan UNESCO juga menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kondisi ini merupakan tantangan besar dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Ironisnya, situasi di atas kontras dengan upaya pemerintah dalam rangka pencapaian Tujuan ke-4 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Suistanable Development Goals (SDGs), yakni “Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta  meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua”.

Sementara itu, berbagai studi telah membuktikan bahwa rendahnya minat baca (tingkat literasi) berdampak terhadap tingginya tingkat drop-out sekolah, tingkat kemiskinan, dan pengangguran. Kausalitas ini cukup logis. Sebaliknya, wilayah dengan tingkat literasi yang tinggi menghasilkan angka partisipasi sekolah (APS) yang tinggi. Selanjutnya, APS yang tinggi berdampak mudahnya penduduk memasuki pasar kerja. Hal ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka dapat tereduksi.

Meskipun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Pebruari 2024 (BPS) telah mencapai 4,82 persen atau turun sebesar 0,63 persen poin daripada Februari 2023, namun angka TPT ini masih berpotensi meningkat. Hal ini akibat stabilitas harga komoditas global, serta dampak perang dagang antara Cina versus Amerika Serikat dan Eropa yang dapat mempengaruhi ketenagakerjaan di Indonesia.

Sementara itu, pembangunan sektor pendidikan menghasilkan dampak ekonomi secara tidak langsung. Studi Duflo (2001) dalam kasus “Pembangunan gedung SD INPRES tahun 1973-1978“, menyimpulkan bahwa setiap gedung sekolah dasar yang dibangun per 1.000 anak menghasilkan peningkatan rata-rata 0,12 – 0,19 tahun pendidikan (years of schooling). Hal ini juga berefek terhadap peningkatan upah sebesar 1,5 hingga 2,7 persen. Atau setara dengan pengembalian ekonomi untuk pendidikan (economic returns to education) antara 6,8 hingga 10,6 persen.

Studi lain mengungkapklan bahwa untuk setiap tambahan satu tahun sekolah akan meningkatkan pendapatan sebesar 10 persen (Psacharopoulos dan Patrinos 2018; Montenegro dan Patrinos 2021). Angka ini lebih besar daripada pengembalian pasar saham/stock market returns (Heckman 2008; Arias dan McMahon 2001). Sementara itu, hampir semua negara dan di semua jenjang pendidikan, pengembalian ekonomi untuk pendidikan bagi perempuan lebih tinggi (10 persen) daripada bagi laki-laki (8 persen).

Studi empiris juga mengungkapkan bahwa peningkatan angka literasi berdampak positif terhadap partisipasi penduduk dalam pasar kerja. Hal ini secara tidak langsung dapat menurunkan TPT dan bermuara pada turunnya angka kemiskinan. Lebih dari itu, rendahnya literasi juga berdampak terhadap minat masyarakat untuk memasuki pasar kerja sektor formal.

Dalam realita, pekerja Indonesia sebagian besar berpendidikan rendah (SD ke bawah dan SMP) tepatnya 54,69 persen. Mereka umumnya bekerja pada sektor informal, yakni sekitar 59,17 persen dari total angkatan kerja (BPS, 2024). Karenanya dapat kita tarik benang merah fenomena di atas, bahwasannya minat baca yang rendah merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya angka partisipasi sekolah (APS). Sekaligus berpengaruh terhadap pencapaian tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang rendah, dan keadaan ini dapat meningkatkan angka kemiskinan.

Komitmen pemerintah terhadap politik anggaran (APBN) untuk pendidikan memiliki kontribusi nyata terhadap peningkatan minat baca masyarakat adalah sangat penting. Besarnya belanja pegawai serta pengeluaran seremonial yang tidak bersentuhan langsung kepada manfaat masyarakat hendaknya lebih ketat. Di lain pihak, proporsi pengeluaran dalam APBN untuk bidang layanan publik (termasuk pendidikan masyarakat/non formal) hendaknya lebih menjadi prioritas. Lebih-lebih pengeluaran itu berdampak langsung terhadap tingkat literasi penduduk.

Keterlibatan dunia usaha dalam bentuk CSR tidak dapat dianggap sepele di tengah dana anggaran pemerintah yang relatif terbatas. Keringanan bahkan pembebasan pajak atau pemberian subsidi bagi lembaga penerbit buku untuk mengurangi harga jual buku. Sehingga bisa lebih terjangkau oleh masyarakat. Namun lembaga penerbit juga diharapkan memiliki idealisme tinggi dalam mencerdaskan masyarakat, tidak berfikir profit oriented semata-mata.

Dengan demikian upaya peningkatan literasi masyarakat tak lain juga merupakan peningkatan output pendidikan sekaligus kinerja perekonomian yang pada gilirannya dapat memperbaiki kualitas SDM dan dapat memutuskan lingkaran perangkap kemiskinan dan pengangguran. Anggaran, manajemen serta fasilitas pendidikan hanyalah beberapa syarat di antara pranata lainnya yang perlu diupayakan agar sektor pendidikan lebih berdaya. Namun perbaikan kualitas SDM sebagai subyek pembangunan dengan tidak menomorduakan pendidikan setelah pembangunan fisik merupakan hal yang lebih diutamakan.

Penulis: Achmad Sjafii (Dosen FEB UNAIR; Ketua Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Cabang Jawa Timur)