Universitas Airlangga Official Website

Torsi Uteri pada Sapi Persilangan Simmental

Torsi uteri pada sapi persilangan Simmental. (Foto: Dok. Penulis)

Torsio uterus adalah rotasi atau perputaran  uterus bunting pada sumbu memanjangnya. Torsio uteri merupakan salah satu penyebab distokia yang dapat berakibat kematian pedet dan pengafkiran induk. Torsio uteri terjadi selama trimester terakhir kebuntingan atau saat proses melahirkan.  Torsio pasca-serviks (uterus) lebih sering terjadi daripada torsio pra-serviks (vagina). Torsio ke kiri lebih sering terjadi daripada ke kanan. Gejala klinis bervariasi tergantung pada derajat torsio. Pertolongan torsio uteri ditujukan untuk memutar uterus kembali ke posisi fisiologisnya. Keberhasilan retorsi dipengaruhi oleh waktu dan derajat torsio uterus. Selanjutnya, kelahiran anak sapi dapat dilakukan pervaginam atau operasi sesar tergantung pada keberhasilan pembukaan serviks.  Viabilitas anak sapi yang dilahirkan dari kasus torsio uteri bervariasi 14-90%. Setelah kejadian kasus torsio uteri perkembangan postpartum pada sapi juga bervariasi, mulai dari iritasi ringan, masa involusi uterus lebih panjangnya, hingga komplikasi fatal. Pengaruh torsio uteri terhadap fertilitas tergantung keberhasilan pertolongan partus dan komplikasi sekunder. Komplikasi berupa gangguan elektrolit sekitar 50%, cedera terkait kelahiran sekitar 20%, dan retensi plasenta sangat bervariasi antara 3-52%. Frekuensi kejadian torsio uteri antara 0,5 dan 1% dari keseluruhan kelahiran di Jerman. Sebagian besar kasus torsio uteri berhasil dikoreksi dan diikuti dengan partus pervaginam dengan anak sapi hidup. Sapi pluripara memiliki risiko torsio uteri yang lebih besar dibandingkan sapi dara, sedangkan induk yang memiliki disproporsi fetopelvik atau bunting kembar memiliki risiko yang lebih rendah. Kerugian ekonomi peternak akibat sapi dengan torsio uteri intra partum berupa biaya perawatan, infertilitas, kematian anak sapi, dan kematian induk.

Sapi Peranakan Simental yang mengalami kasus torsio uteri adalah milik peternak di Desa Seloharjo, Kapanewon Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sapi tersebut merupakan peranakan Simental, umur lima tahun. Pakan yang diberikan adalah rumput Kalanjana, jerami, dedak, katul gandum. Sejarah reproduksi sapitersebut pernah beranak dua kali, sebelumnya mengalami kawin berulang sebanyak 17 kali ditempat pemilik lama dan empat kali pada pemilik saat kasus terjadi. Usia kebuntingan sembilan bulan sepuluh hari. Waktu kejadian 26 Juli 2021.

Berdasarkan hasil anamnesa diketahui bahwa tanggal 25 Juli 2021 jam 15.00 sapi mulai gelisah, berputar-putar di dalam kandang, sebentar berbaring dan sebentar berdiri. Setelah itu sapi mulai mengejan, dan semakin lama mengejan semakin kuat, namun vagina tidak odema, tidak adanya ketuban yang pecah,  tidak nampak kaki maupun kepala fetus yang keluar dari vulva induk. Keadaan tersebut berlangsung sampai keesokan harinya. Kondisi sapi semakin melemah, sering berbaring dengan kaki diselonjorkan kaku kedepan, sambil terus mengejan. Sapi tidak mau makan dan minum sejak mulai tanda-tanda mau melahirkan. Tanggal 26 Juli 2021  jam 6.30 pemilik menghubungi Dokter Hewan untuk minta bantuan. Dokter Hewan segera datang ke lokasi (jam 6.45) dan segera melakukan pemeriksaan. Dalam pemeriksaan didapati berat badan sapi induk kurang lebih 400 kg, umur lima tahun, suhu 39°C, sapi nampak kelelahan. Pemeriksaan melalui eksplorasi per vagina didapatkan lumen uterus buntu, mengalami torsio penuh kearah kiri.

Pada saat diperiksa sapi  dalam posisi berdiri, maka untuk pertolongan terlebih dahulu sapi direbahkan dengan metode tali samping. Setelah itu sapi diguling-gulingkan (teknik rotasi) beberapa kali hingga diperoleh posisi pembukaan lumen serviks maksimum. Kedudukan fetus head flexion posture, sehingga untuk mengeluarkannya per vaginam terlebih dahulu dilakukan reposisi kepala. Selanjutnya dilakukan pengikatan kepala, diikuti pengikatan kedua pergelangan kaki pedet, setelah itu dilakukan penarikan paksa sampai fetus keluar.  Obat-obatan yang diberikan adalah analgetik-antipiretik (diulang sore harinya),  antibiotika long acting, vitamin B1, serta vitamin dan mineral yang dicampurkan dengan comboran.

Pasca pertolongan kondisi induk masih lemah, belum bisa berdiri, belum mau makan, dan hanya sedikit minum. Selang beberapa jam induk sudah berdiri dan berjalan-jalan, mau makan dan minum sedikit, plasenta lepas dengan sempurna. Keadaan fetus hidup, jenis kelamin betina, berat kurang lebih 40 kg, kondisi lemah, terindikasi banyak menghirup cairan ketuban, sehingga diberikan bantuan untuk memgeluarkan cairan tersebut dan segera sesudahnya diberikan minum air susu induknya. Susu dari induknya diperah dan diminumkan kepada anaknya dengan spuit. Kondisi pedet berangsur sehat dan bisa berjalan pada sore harinya, dan dengan dibantu pemilik sapi, akhirnya pedet bisa memyusu sendiri pada induknya. Sebagai kesimpulan, kasus torsio uteri pada sapi induk Peranakan Simental telah berhasil ditangani 24 jam setelah tanda-tanda kelahiran dengan teknik rolling tradisional dan fetus dapat dikeluarkan per vaginam. Kondisi induk dan fetus passca pertolongan torsio uteri berangsur-angsur sehat kembali.

Penulis: Sri Rahayu

Puskesmas Pundong, Jl. Joyowinoto, Jamprit, Panjangrejo, Pundong, Bantul, Yogyakarta55771, Indonesia

Artikel ilmiah hasil penelitian ini sudah terbit pada OVOZOA : Journal of Animal Reproduction (https://e-journal.unair.ac.id/OVZ/index) suatu jurnal ber-Bahasa Inggris yang diterbitkan atas kerjasama antara Universitas Airlangga (http://210.57.208.200/) dengan Asosiasi Departemen Reproduksi Veteriner Indonesia (ADERVI) dan Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia (ARHI). Artikel dapat di akses melalui tautan: https://e-journal.unair.ac.id/OVZ/article/view/32407

Disarikan dari artikel:

Rahayu S. 2022. Uterine torsion in Simmental crossbreed cow. Ovozoa 11: 41-48.