Tes paternitas [paternity test] merupakan pemeriksaan DNA untuk menentukan apakah seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Kita semua mewarisi DNA (materi genetik) dari orang tua biologis kita. Tes paternitas membandingkan pola DNA anak dengan terduga ayah untuk memeriksa bukti pewarisan DNA yang menunjukkan kepastian adanya hubungan biologis. Tes DNA memiliki nilai 100% akurat bila dikerjakan dengan benar. Tes DNA ini memberikan hasil lebih dari 99.99% probabilitas paternitas bila DNA terduga ayah dan DNA anak cocok (matched). Apabila DNA terduga ayah dan anak tidak cocok (mismatched) maka terduga ayah yang di tes 100% bukanlah merupakan ayah biologis anak tersebut [Syukriani, 2012].
Namun apabila tidak tersedianya informasi yang berasal dari ayah dan ibu atau anak yang dapat digunakan sebagai pembanding pada proses pemeriksaan DNA forensik [paternity test] merupakan salah satu problem tersendiri dalam analysis DNA forensic (Sykuriani, 2012, Yudianto, 2013). Padahal prinsip pemeriksaan DNA forensik, didasarkan pada proses pembandingan alele yang berasal dari korban atau pelaku, dibandingkan dengan pembanding yang berasal dari jalur keluarga (kindship analysis) terutama dari jalur orang tua sesuai dengan hukum mendel, seperti pada kasus “unborn child disputed”, paternity disputed atau bahkan pada analisis DNA forensik pada bencana massal atau mass disaster (Butler, 2006 : Butler et al, 2012 : Butler, 2015]. Dalam kondisi tertentu diperlukan pembanding yang memiliki kedekatan jalur keluarga sebagai salah satu cara yang dapat ditempuh dalam proses analisis DNA forensik, seperti halnya adik atau kakak kandung dari korban atau pelaku bila pembanding dari jalur orang tua maupun anak tidak didapatkan.
Proses identifikasi yang menggunakan saudara kandung sebagai pembanding, akan dihadapkan pada kemungkinan adanya ketidakcocokan atau mismatch pada profil lokus DNA yang digunakan. Penerapan kinship analysis [analisis kekerabatan] pada identifikasi DNA forensik digunakan pada berbagai kasus di bidang forensik, yakni parentage testing (civil or criminal), disaster victim identification, missing persons identification, familial searching (Butler, 2006, 2015).
Bahan dan Hasil
Populasi dalam penelitian ini yakni orang suku Madura di kota Surabaya, dengan kriteria memiliki pola perkawainan sesama suku Madura dari 3 generasi diatasnya. Sampel penelitian adalah DNA sukarelawan sekeluarga terdiri dari orang tua, anak. Telah mendapatkan kelayakan etik dari FKG Universitas Airlangga no:.275/HRECC.FODM/VI/2020. Semua sukarelawan menyetujui guna berpartisipasi dalam penenlitian dan privasi-kerahasiaan sukarelawan dipatuhi.. Jumlah sukarelawan sebanyak 10 keluarga [bapak, ibu, anak kesatu dan anak kedua], total sebanyak 40 sampel. Penelitian dilaksanakan pada kelompok studi human genetik Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga.
Penelitian ini diawali isolasi DNA dari darah tepi responden dengan metode DNAzol. Hasil isolasi DNA sampel diukur kadar dan kemurnian DNA sampel dengan Spectrophotometer. Rerata kadar DNA sampel : 595,35 ± 4,15ng/µl sedangkan kemurnian nilai rentang : 1,17 – 1,29. Selanjutnya proses amplifikasi PCR menggunakan primer pada lokus STR CODIS [CSF1PO,THO1,TPOX, vWA dan Amelogenin], serta visualisasi hasil amplifikasi PCR melalui Polyacrylamide Agorose Gel Electrophorese [PAGE] dengan pengecatan silver nitrate.
Dalam penelitian ini alel-alel yang dihasilkan dari keluarga populasi suku madura di Surabaya sangat bervariasi, presentase tertinggi pada lokus CSF1PO alel 9 [33,75%], THO1 alel 8 [26,25%], TPOX alel 9 [32,5%] dan vWA alel 17 [21,25%]. Penelitian ini menunjukkan memeiliki 2 allele yang sama pada saudara kandung pada suku madura di Surabaya untuk lokus CSF1PO dan TPOX sebesar 70%, THOI sebesar 100% sedangkan vWA sebesar 90%. Dalam penelitian ini juga menunjukkan alel share pada allele satu saudara kandung yang tertinggi yakni 2 allele share pada lokus CSF1PO : 70%, THO1 : 100%, TPOX : 70% dan vWA : 90% [gambar 3]. Serta prosentase 2 allele share pada suku madura di Surabaya yakni 82,5 % [gambar 4.] Berdasarkan tersebut sebagai rekomendasi lokus THOI sebagai penanda spesifik suku madura di Surabaya, ini selaras dari penelitian Sosiawan et al 2019, frekeunsi alel sibling pada suku Madura pada 12 lokus STR salah lokusnya yang direkomendasikan yakni THOI dan penelitian Prastowo et al, 2018, frekeunsi alel lokus STR CODIS suku Madura di Bangkalan dan Probolinggo disebutkan lokus THOI memiliki frekuensi tertinggi [76%] dalam 13 lokus STR CODIS yang diperiksa.
Kesimpulan
Semua lokus STR-CODIS yang diperiksa memiliki persentase berbagi dua alel tertinggi (persentase di atas 50%. Berdasarkan temuan ini, direkomendasikan bahwa tes paternitas dapat dilakukan dengan menggunakan garis saudara kandung atau garis kekerabatan jika garis induk tidak tersedia. Penelitian ini juga merekomendasikan penggunaan DNA janin bebas sel sebagai metode non-invasif dalam pemeriksaan paternitas.
Penulis : Prof.Dr.Ahmad Yudianto,dr.SpF.M.Subsp.S.B.M[K].,SH.,M.Kes
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di
http://www.jidmr.com/journal/wp-content/uploads/2022/12/4-D22_1886_Ahmad_Yudianto2_Indonesia2.pdf
Ahmad Yudianto, Arofi Kurniawan, Fery Setiawan, Abdul Hadi Furqoni. Beta Novia Rizky[2022], Paternity Test Through Kinship Analysis And Cell Free Fetal DNA (Cff-DNA) As A Forensic Identification Technique, J Int Dent Med Res 2022; 15(4): 1434-1441