Universitas Airlangga Official Website

Vitamin D dan Aktivitas Penyakit Lupus

ILUSTRASI penyakit lupus. (Foto: halodoc.com)
ILUSTRASI penyakit lupus. (Foto: halodoc.com)

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang dikenal sebagai lupus adalah penyakit autoimun yang dapat menyebabkan peradangan pada berbagai organ tubuh. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan memiliki faktor pemicu yang kompleks, termasuk genetika dan lingkungan. Salah satu faktor yang semakin banyak diteliti dalam kaitannya dengan lupus adalah kadar vitamin D dalam tubuh.

Vitamin D dikenal tidak hanya sebagai nutrisi penting untuk kesehatan tulang tetapi juga sebagai imunomodulator yang dapat mempengaruhi aktivitas sistem kekebalan tubuh. Kekurangan vitamin D (hipovitaminosis D) telah dikaitkan dengan berbagai penyakit autoimun, termasuk lupus. Sebuah penelitian terbaru mengkaji hubungan antara kadar 25-hidroksi vitamin D (25(OH)D) dalam darah dengan tingkat aktivitas lupus pada pasien di Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan observasional analitik terhadap 40 pasien lupus yang menjalani perawatan rawat jalan dan rawat inap. Aktivitas lupus dinilai menggunakan skor Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), sementara kadar 25(OH)D diukur dengan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). Data yang dikumpulkan dianalisis dengan uji korelasi Spearman untuk melihat hubungan antara kadar vitamin D dan tingkat aktivitas lupus.

Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa rata-rata kadar 25(OH)D dalam darah pasien lupus adalah 21,69 ng/mL. Analisis statistik menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara kadar vitamin D dengan tingkat aktivitas lupus (p<0,01; r = -0,671). Artinya, semakin rendah kadar vitamin D dalam tubuh, semakin tinggi aktivitas penyakit lupus yang dialami pasien. Selain itu, kadar vitamin D juga memiliki korelasi negatif dengan kadar protein C-reaktif (CRP), yang merupakan penanda inflamasi dalam tubuh (p<0,05; r = -0,414). Sebaliknya, kadar vitamin D berkorelasi positif dengan kadar komponen komplemen C3 (p<0,01; r = 0,538) dan C4 (p<0,05; r = 0,356), yang menunjukkan peran vitamin D dalam menjaga keseimbangan sistem imun.

Penelitian ini menegaskan bahwa hipovitaminosis D sering terjadi pada pasien lupus dan dapat berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas penyakit. Oleh karena itu, pemantauan kadar vitamin D dan pemberian suplemen jika diperlukan dapat menjadi strategi tambahan dalam manajemen lupus, terutama bagi pasien dengan kadar vitamin D yang rendah.

Meskipun temuan ini menunjukkan hubungan yang kuat antara kadar vitamin D dan aktivitas lupus, penelitian lebih lanjut dengan desain longitudinal atau intervensi langsung diperlukan untuk menentukan apakah suplementasi vitamin D dapat secara langsung mengurangi keparahan lupus. Namun, dengan melihat peran vitamin D dalam mengatur sistem kekebalan tubuh, penting bagi pasien lupus untuk mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup dan mempertimbangkan asupan vitamin D dari makanan maupun suplemen sesuai dengan rekomendasi medis.

Dengan semakin banyaknya bukti yang mendukung peran vitamin D dalam penyakit autoimun, kesadaran akan pentingnya menjaga kadar vitamin D yang optimal perlu ditingkatkan, baik di kalangan profesional medis maupun masyarakat umum.

Penulis: Prof. Dr. Gatot Soegiarto, dr., Sp.PD, K-AI

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

Soegiarto G., Yuliasih Y., Fetarayani D., Wachida R. Correlation between 25(OH)D Levels with Systemic Lupus Erythematosus. Research J. Pharm. and Tech 2024, 17(12), 5773-8. doi: 10.52711/0974-360X.2024.00878