Universitas Airlangga Official Website

The Warrior of Morbus Hansen Prof Indropo Agusni Berpulang

Suasana duka menyelimuti persemayaman Prof Indropo di Gedung Aula FK UNAIR. (Foto: Sefya Hayu Istighfaricha)

UNAIR NEWS – Bendera Airlangga terpancang setengah tiang, sementara deretan rangkaian bunga ucapan belasungkawa berjajar di sepanjang jalan. Duka serta isak tangis mengiringi prosesi persemayaman Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga  Prof. DR. Dr. Indropo Agusni, Sp.KK(K), FINSDV,FAADV.

Sejak pukul 08.00 WIB, Kamis (30/8), Gedung Aula FK UNAIR dipadati puluhan pelayat dari keluarga maupun rekan sejawat dokter yang turut berbela sungkawa atas berpulangnya Prof Indropo pada hari Rabu, 29 Agustus 2018 pukul 14.15 WIB di Graha Amerta RSUD Dr. Soetomo. Sebelum akhirnya jenazah Prof Indropo dimakamkan di TPU Keputih, Surabaya.

Rasa duka tidak hanya dirasakan keluarga, namun juga menyelimuti para sejawat dokter khususnya mereka yang sama-sama berangkat dari Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo.

Sosok Prof Indropo yang dikenal begitu akrab dan all out ketika membimbing semua anak didiknya begitu berkesan dibenak Dr. Linda Astari, SpKK.

“Sekalipun sudah pakai kursi roda, tidak menghalangi semangat beliau untuk tetap beraktivitas. Prof In tetap aktif di poli, menguji, dan membimbing mahasiswanya,” kenangnya.

Dedikasi Prof Indropo dalam memajukan pendidikan kedokteran khususnya bidang kesehatan kulit kelamin memang sudah tak diragukan lagi. Dalam acara Regional Conference Dermatology 2018 beberapa waktu lalu, Prof Indropo  dianugerai penghargaan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia sebagai Individu yang  berperan besar dalam penanggulangan penyakit M. Leprae tipe Multibasiler atau kusta di Indonesia.

“Menurut saya ini penghargaan tertinggi atas dedikasi beliau setelah puluhan tahun begitu concern mengembangkan penelitian penyakit kusta di Indonesia,” ungkapnya.

Seperti diketahui, lebih dari 35 tahun Prof Indropo mendalami penelitian terkait fenomena penyakit kusta yang hingga kini masih menjadi permasalahan di Indonesia. Bersama timnya, Prof In tak segan turun ke sejumlah wilayah endemis kusta tanpa khawatir sedikitpun.

Lulus pendidikan dokter spesialis kulit dan kelamin di FK UNAIR pada tahun 1979, pria kelahiran Solo itu kemudian terbang ke beberapa negara seperti India untuk mempelajari kusta. Tahun 1980, bersama para kolega, Prof Indropo merintis dan menjalin kerjasama dengan lembaga yayasan kusta dari Belanda untuk membantu perawatan pasien kusta di rumah sakit.

Saat itu, ribuan penderita kusta mendapat perawatan dan pengobatan gratis, sehingga banyak  dari pasien kusta dari kalangan kurang mampu yang akhirnya bisa tertangani.

Selain memperjuangkan pengobatan bagi para penderita kusta, pria kelahiran April 1949 itu juga berupaya keras mengubah stigma masyarakat. Mengingat, penderita kusta seringkali dihadapkan dengan gangguan psikososial akibat dikucilkan oleh  masyarakat di sekeliling.

Tahun 2011, UNAIR NEWS pernah mewawancarai Prof Indropo di laboratorium Institut Tropical Diseases (ITD) UNAIR. Dalam kesempatan itu, prof In menekankan bahwa sebenarnya proses penularan M. Leprae penyebab kusta tidak serta merta langsung terjadi hanya dengan sekali kontak dengan penderita. Artinya, butuh waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk bisa tertular.

Sumber penularan antara lain datang dari individu lain yang tertular basil M. Leprae tipe Multibasiler (MB) dan belum diobati. Menurutnya jika individu melakukan kontak yang cukup lama dengan si penderita, maka bisa menular melalui udara dan percikan ludah tapi dengan syarat harus terpapar berulang kali dan terus menerus.

Tidak hanya concern mendalami problem kusta, Prof Indropo juga dikenal sangat memperhatikan keberlangsungan Museum Pendidikan Kedokteran FK UNAIR. Atas inisiatif Prof dr. Sentot Moestadjab Soeatmadji pada saat itu, Prof Indropo dengan sepenuh hatinya mengelola Museum yang berisikan peninggalan alat-alat kedokteran tempo dulu.

Bahkan, Prof Indropo bersama delapan Alumni FK UNAIR lain juga meresmikan Prasasti Alumni FK UNAIR pada tanggal 25 Mei 2002.

Itulah mengapa di sekeliling dinding lorong masuk-keluar FK UNAIR terpajang nama-nama alumnus yang diukir pada sebuah potongan batu marmer. Nama-nama ini adalah para alumni yang telah menyelesaikan pendidikan kedokteran di FK UNAIR. Otomatis dalam prasasti ini juga memuat lulusan NIAS (meluluskan sejak 1923), lulusan Djakarta Ika Dai Gaku, hingga lulusan FK UNAIR.

Mayoritas barang peninggalan yang dipajang di Museum Pendidikan Kedokteran FK UNAIR merupakan sumbangan dari Prof Indropo. Di antaranya, beberapa foto hitam putih ketika mengikuti perpeloncoan, serta foto-foto kebersamaan beliau bersama teman seangkatan.

Keberadaan Museum FK UNAIR memperoleh banyak dukungan dari sejumlah alumni. Tidak sedikit dari para alumni yang dengan sukarela menyumbangkan koleksi buku-buku, foto-foto, alat-alat kedokteran tempo dulu, termasuk toga wisuda. Juga ada SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 365 tentang pendirian NIAS pada 1913.

Museum Pendidikan Kedokteran menerima ribuan foto dari para alumni, alat kedokteran, dokumen, buku, hingga fasilitas wisuda seperti toga dan ijazah. Di museum itu juga ada mikroskop kuno era Belanda, jarum suntik dari masa ke masa, alat operasi, foto rontgen orang Indonesia pertama, dan piagam penghargaan yang diterima dokter Jawa dr Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo.

Penulis: Sefya H Istighfaricha

Editor: Binti Q. Masruroh