Ketika ditanya oleh wartawan Warta Unair tentang ancaman Omicron varian baru BA.4 dan BA.5, peneliti UNAIR yang juga merupakan salah satu pakar imunologi FK Unair dan RSUD dr. Soetomo, Surabaya, Dr. dr. Gatot Soegiarto, Sp.PD, K-AI setuju bahwa masyarakat tidak boleh meremehkan ancaman varian virus Corona SARS-CoV-2 yang saat ini mulai memasuki wilayah Indonesia.
Varian baru yang terdeteksi pertama kali di Afrika Selatan ini sebenarnya sudah mulai tercium keberadaannya sejak 10 Januari 2022 di Limpopo (BA.4) dan KwaZulu-Natal (BA.5) dan akhirnya menyebar ke seluruh provinsi di Afrika Selatan. Afrika Selatan dikenal sebagai negara yang begitu getol melakukan ‘genetic sequencing’ sampel SARS-CoV-2 dibandingkan negara-negara lain di dunia. Berdasarkan data yang diunggah ke basis data GISAID secara global maupun laporan dari kantor-kantor regional WHO, jumlah kasus dan jumlah negara yang melaporkan adanya varian baru ini terus meningkat. Di Afrika Selatan sendiri persentase varian BA.4 yang pada Januari 2022 masih sekitar 1% telah meningkat menjadi 35% pada akhir April 2022, sementara varian BA.5 mencapai 20%. Hingga akhir Mei 2022 varian Omicron BA.4 sudah menyebar dan terdeteksi di Austria (7% dari kasus global), di Inggris Raya (6% kasus global), Amerika Serikat (5% kasus global) dan Denmark (3% kasus global), sementara varian BA.5 sudah terdeteksi di Jerman (22% kasus global), Portugal (13% kasus global), Inggris Raya (9% kasus global) dan Amerika Serikat (3% kasus global).
Ditilik dari jenis mutasinya, kedua sub-varian ini sering dibicarakan secara bersama-sama karena memiliki jenis mutasi yang sama pada protein ‘spike’nya, walaupun mengandung mutasi berbeda pada area yang lain. Kedua varian tersebut sama-sama menyandang mutasi L452R dan F486V yang membuat keduanya mampu meloloskan diri dari respons imun dan karenanya berpotensi lebih mudah menular dibandingkan varian Omicron aslinya. Namun kita masih beruntung karena dari sisi keparahan infeksi, keduanya tidak sampai menyebabkan infeksi yang parah. Mutasi pada varian BA.4 dan BA.5 membuat mereka mampu meloloskan diri dari antibodi yang diperoleh dari vaksinasi maupun setelah sembuh dari infeksi dengan varian sebelumnya. Keduanya juga mampu meloloskan diri dari terapi antibodi monoklonal yang didesain berdasarkan varian SARS-CoV-2 sebelumnya (https://www.gavi.org/vaccineswork/five-things-weve-learned-about-ba4-and-ba5-omicron-variants?gclid=EAIaIQobChMIq4DU3se_-AIVC5lmAh3sJgw8EAAYASAAEgIEZ_D_BwE).
Di Indonesia sendiri, kasus pertama BA.4 dan BA.5 terdeteksi pertama kami di Bali pada 1 orang warga negara Indonesia dan 3 orang warga negara asing di Bali pada tanggal 6 Juni 2022 dan baru dipastikan pada tanggal 9 Juni 2022 setelah dilakukan pemeriksaan urutan genetik asam aminonya. Semuanya sudah menjalani vaksinasi, bahkan salah seorang diantaranya sudah mendapatkan 4 kali vaksinasi COVID-19 (https://upk.kemkes.go.id/new/waspadai-subvarian-omicron-ba4-dan-ba5). Terkait dengan hal tersebut, Gatot Soegiarto mengingatkan warga masyarakat untuk lebih waspada dan tidak meremehkan ancaman varian baru ini, walaupun gejalanya sama dengan varian Omicron sebelumnya dan tidak terlalu memicu gejala klinis yang parah seperti Delta. “Ada beberapa fakta yang perlu diketahui oleh masyarakat”, ujarnya. “Pertama, selama virus ini masih dapat menginfeksi seseorang dan bereplikasi dalam tubuh orang tersebut, maka selalu ada kemungkinan timbulnya varian baru akibat tidak sempurnanya mekanisme ‘copy-paste’ kode genetik virus RNA saat bereplikasi. Hal itu terjadi secara random (acak) sehingga kita tidak pernah bisa meramalkan apakah hasil mutasi genetik itu akan menghasilkan varian baru yang lebih lemah atau justru lebih ganas, lebih mudah menular, lebih menimbulkan infeksi yang parah, dan seterusnya”. Beberapa laporan ilmiah memang telah menyebutkan bahwa mutasi tersebut dapat menyebabkan virus meloloskan diri dari respons imun, termasuk antibodi (Cao Y, et al. Nature, 2022. https://doi.org/10.1038/s41586-022-04980-y; Yao L, et al. The Lancet Infectious Disease, 2022. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(22)00410-8) “Kedua, titer antibodi yang diperoleh dari vaksinasi ternyata terus mengalami penurunan dengan berjalannya waktu”, lanjut Gatot.
Dr. Gatot kemudian mengungkapkan hasil penelitiannya bersama tim peneliti di RSUD dr. Soetomo Surabaya dan RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan, Madura. Peneliti mengamati sekitar 100 orang lebih tenaga kesehatan di RSUD dr. Soetomo yang mendapatkan dua dosis vaksinasi dengan CoronaVac (vaksin COVID-19 jenis virus yang dimatikan). Mereka ini diamati titer antibodi IgG anti RBD SARS-CoV-2 sebelum vaksinasi, 1 bulan, 3 bulan, dan 5 bulan setelah vaksinasi (dihitung dari saat mendapatkan dosis vaksin kedua). Selama pengamatan tersebut, sebanyak 18 subyek dikeluarkan dari perhitungan karena terbukti terinfeksi COVID-19 atau karena tidak dapat dilacak untuk mengikuti prosedur penelitian sesuai rencana. Selain itu peneliti juga mengevaluasi kejadian infeksi COVID-19 pada individu yang sudah mendapatkan dua dosis vaksinasi lengkap (breakthrough infection) terhadap 2714 subyek yang merupakan gabungan dari tenaga kesehatan di RSUD dr. Soetomo dan RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu, Bangkalan.
Ketika dilakukan analisis untuk menentukan adanya hubungan antara penyakit komorbid dengan kejadian breakthrough infection, tampak bahwa subyek dengan hipertensi memiliki risiko yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan subyek yang tensinya normal. Efek tersebut tetap dominan walaupun sudah dilakukan analisis regresi logistik multinomial untuk mengendalikan efek penyakit komorbid yang lain. Subyek dengan hipertensi secara bermakna memiliki risiko sekitar 1,3 kali lipat lebih besar untuk mengalami breakthrough infection dibandingkan subyek tanpa hipertensi. Hasil penelitian yang mendapatkan pendanaan dari Riset Mandat COVID-19 dari Universitas Airlangga ini (Research Grant No: 1043/UN3.15/PT/2021) telah berhasil dipublikasikan di jurnal ilmiah kedokteran internasional terakreditasi yaitu Vaccine edisi tahun 2022, volume 40, nomor 30, halaman 4046-4056 (doi: 10.1016/j.vaccine.2022.05.059).
Lebih lanjut, Dr. dr. Gatot Soegiarto Sp.PD, K-AI yang juga merupakan Ketua Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia (PERALMUNI) cabang Surabaya ini mengatakan: “Adanya varian virus baru yang mampu meloloskan diri dari respons antibodi, ditambah dengan menurunnya titer antibodi hasil vaksinasi dengan berjalannya waktu, secara bersama telah membuat masyarakat kita menjadi rentan terinfeksi oleh varian baru tersebut. Cepatnya virus varian baru BA.4 dan BA.5 menular tentu ikut berkontribusi terhadap transmisi (penularan) lokal dan peningkatan jumlah kasus baru COVID-19 di Indonesia seperti yang dapat diamati akhir-akhir ini”. Per tanggal 22 Juni 2022 tercatat 1985 kasus baru, Sebagian besar di DKI Jakarta (1226 kasus), Jawa Barat (292 kasus), dan Banten (214 kasus). Jawa Timur sendiri menyumbang 93 kasus baru (covid19.go.id, Kemenkes, kawalcovid19) (Gambar 6). Sementara itu, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin memprediksi bahwa puncak gelombang BA.4 dan BA.5 ada di minggu kedua atau ketiga bulan Juli mendatang (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220614074441-4-346789/siap-siap-ini-prediksi-menkes-soal-puncak-covid-ba4-ba5-ri)
Karena itu, imbuh Gatot, “masyarakat perlu lebih waspada dan tidak meremehkan varian baru ini. Pemerintah juga dirasa perlu menghimbau masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan seperti sebelumnya, setidaknya tetap menggunakan masker di tempat umum, mencuci tangan dengan sabun, dan menghindari kerumunan (3M). Selain itu perlu diupayakan untuk memaksimalkan capaian vaksinasi ketiga (booster) seperti target yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, khususnya bagi warga masyarakat berusia lanjut dan memiliki kondisi komorbid seperti hipertensi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi. Kita perlu memantau tingkat keparahan infeksi, tingkat kebutuhan perawatan rumah sakit, tingkat kematian dan beban terhadap fasilitas pelayanan kesehatan sebelum memutuskan apakah untuk tenaga kesehatan yang berada di lini depan perlawanan terhadap COVID-19 perlu diberikan perlindungan tambahan seperti vaksinasi keempat (booster kedua) yang saat ini mulai dipertimbangkan manfaatnya oleh beberapa pihak”.
Penulis: Dr. Gatot Soegiarto, dr., Sp.PD, K-AI
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
Soegiarto G, Wulandari L, Purnomosari D, et al. Hypertension is associated with antibody response and breakthrough infection in health care workers following vaccination with inactivated SARS-CoV-2. Vaccine. 2022;40(30):4046-4056. doi: 10.1016/j.vaccine.2022.05.059.