Universitas Airlangga Official Website

Peran Pendidikan Vokasi pada Pengangguran di Indonesia

Menyoal Peran Pendidikan dan Pemikiran Perempuan Masa Kini
Ilustrasi pendidikan (foto: istimewa)

Di Indonesia, tingkat penyelesaian pendidikan masih tergolong rendah dan sebagian besar penduduk Indonesia hanya menyelesaikan pendidikan sampai dengan pendidikan menengah (sesuai wajib belajar 12 tahun). Data BPS menunjukkan bahwa proporsi pendidikan terakhir angkatan kerja berusia di atas 15 tahun di Indonesia terbesar adalah Sekolah Dasar (24,78%) dan Sekolah Menengah Umum (20,11%) sedangkan tingkat kelulusan Sekolah Menengah Kejuruan masih rendah yaitu sebesar 12,28%. Fakta rendahnya pendidikan cukup mengkhawatirkan karena hasil penelitian Seran (2017) selama tahun 2000-2015 di Indonesia menunjukkan bahwa seseorang hanya akan mempunyai peluang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan ketika mempunyai pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kharisma dan Wardhana (2021) dengan menggunakan data 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2011-2019 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif signifikan terhadap pengangguran di Indonesia.

Dalam menyikapi fenomena tersebut diperlukan jenis pendidikan yang dapat memenuhi kedua kriteria tersebut, yaitu pendidikan formal yang disertai pengalaman kerja yang baik. Pendidikan kejuruan dapat memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja yang memiliki sumber daya manusia berkualitas dan “menjamin pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua” sebagaimana tertulis dalam Tujuan 4 SDGs (PBB, 2015). Sejak tahun 2006, Kementerian Pendidikan Nasional mulai memperluas cakupannya ke SMK atau Sekolah Menengah Kejuruan (yang termasuk dalam pendidikan vokasi selain diploma dan akademi) melalui Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2005-2009. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan angkatan kerja yang siap bekerja, khususnya yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi dengan cara meningkatkan proporsi jumlah siswa sekolah menengah atas (SMA/SMU) ke sekolah menengah kejuruan (SMK). Semula rasio siswa SMA umum dan SMK adalah 70:30 pada tahun 2004 dan ditargetkan mencapai rasio 50:50 pada tahun 2015, dan terakhir menjadi 70:30 pada tahun 202530:70 pada tahun 2015.

Berdasarkan hasil estimasi regresi, dengan menggunakan data yang relatif baru, kita dapat melihat pengaruh yang signifikan dari pendidikan kejuruan dalam menurunkan kemungkinan seseorang menjadi pengangguran secara umum. Namun, jika kita melihat lebih dekat tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah kejuruan di Indonesia, kita dapat melihat bahwa terdapat permasalahan dalam mendapatkan pekerjaan bagi lulusan baru tersebut. Newhouse dan Suryadarma (2011) berpendapat bahwa kemungkinan yang masuk akal mencakup penurunan kualitas pendidikan sekolah kejuruan sebagai akibat dari peningkatan kuantitas yang pesat, dan menurunnya relevansi keterampilan yang diperoleh di sekolah kejuruan yang sebagian besar lebih berorientasi manufaktur dengan semakin berorientasi pada layanan. perekonomian Indonesia. Dalam hal ini, Di Gropello et al (2011) menunjukkan bahwa sistem pendidikan kejuruan di Indonesia tidak mengakomodasi kebutuhan industri dan pemberi kerja, dan terdapat kelemahan pada komponen sisi penawaran seperti kualifikasi guru dan program pelatihan yang relevan dengan industri. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia perlu lebih fokus pada konten dan kualitas pendidikan kejuruan serta memperluasnya.

Sekolah menengah kejuruan berperan penting dalam mengurangi kemungkinan seseorang menjadi pengangguran. Sekolah menengah kejuruan dapat membantu individu yang membutuhkan jalan pintas untuk menjadi pekerja yang layak dengan keterampilan kerja yang baik tanpa harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka membekali siswa dengan keterampilan dan pengetahuan praktis yang dapat diterapkan langsung di dunia kerja. Hal ini membuat mereka lebih menarik bagi pemberi kerja dan meningkatkan peluang mereka mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Sekolah menengah kejuruan juga menawarkan siswa kesempatan untuk mendapatkan pengalaman kerja melalui magang dan pemagangan, yang selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan kerja mereka. Secara umum, kasus ini dikonfirmasi dalam hasil estimasi kami. Namun analisis lebih lanjut mengenai tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah kejuruan berdasarkan usia menunjukkan bahwa kasus tersebut mungkin tidak berlaku bagi lulusan sekolah menengah kejuruan.

Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini salah satunya adalah pemerintah dapat melanjutkan program revitalisasi SMK dengan memfokuskan kerjasama dengan perusahaan dan industri untuk mengurangi kemungkinan pengangguran di Indonesia pada lulusan SMK baru. Namun kerjasama industri tersebut perlu dibarengi dengan program link and match agar kompetensi lulusan SMK dapat memenuhi kebutuhan industri. Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan pemerataan sarana dan prasarana di SMK, khususnya di kabupaten/kota yang masih tertinggal. Adanya sarana dan prasarana yang memadai akan mendukung terlaksananya program link and match dan menjadikan siswa SMK lebih baik dalam pembelajaran keterampilan melalui praktik di sekolah.

Penulis: Yoana, Ilmiawan Auwalin, dan Rumayya

Tulisan ini diringkas dari artikel jurnal dengan judul: “The role of vocational education on unemployment in Indonesia” yang telah diterbitkan di jurnal Cogent Education (Scopus Q2). Artikel jurnal dapat diakses di: https://doi.org/10.1080/2331186X.2024.2340858 

Baca Juga: Fenomena Aktivitas Seksual Berisiko pada Remaja Laki-laki