Universitas Airlangga Official Website

Penggunaan Antivirus pada Pasien Kelainan Fungsi Hati dengan COVID-19

Foto oleh Everyday Health

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona, suatu virus yang memicu sindroma pernafasan akut yang parah (SARS-CoV-2). Kasus COVID-19 terus meningkat sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada 2 Maret 2020. Hingga 21 Februari 2021, lebih dari 1 juta orang terkonfirmasi positif COVID-19, dengan 34.316 kematian terkonfirmasi. Hal ini mengindikasikan bahwa terapi kuratif dan preventif harus dikembangkan untuk mencegah penyebaran COVID-19. Gejala pasien dengan COVID-19 yaitu seperti batuk, hingga gagal napas berat dengan kegagalan banyak organ. Beberapa pasien SARS-CoV-2 juga memiliki kelainan fungsi hati akibat efek obat anti virus.

Pasien dengan COVID-19 juga dapat mengalami kelainan fungsi hati. Kelainan fungsi hati dapat disebabkan langsung oleh sitotoksisitas SARS-CoV2, riwayat penyakit hati sebelumnya, atau efek samping obat yang digunakan dalam pengobatan. Namun, masih belum ada pedoman dalam terapi COVID-19, dengan pusat yang berbeda menggunakan obat antivirus yang berbeda seperti Remdesivir, kombinasi Lopinavir-Ritonavir, dan Favipiravir.

Berdasarkan dari gambaran di atas, peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya di salah satu jurnal Internasional terkemuka, yaitu Annals of Medicine and Surgery. Peneliti mengevaluasi efek Remdesivir, Lopinavir-Ritonavir, dan Favipiravir pada fungsi hati dalam rangkaian kasus 9 pasien COVID-19.

Hasil penelitian yang melibatkan 9 pasien ini menunjukkan bahwa berdasarkan pengobatan yang diberikan, 3 pasien menerima Favipiravir (Avigan), 3 menerima kombinasi Lopinavir-Ritonavir (Lopivia), dan 3 menerima Remdesivir. Ada 1 pasien sakit kritis, 2 pasien penyakit berat, dan 6 sedang. Sebagian besar pasien mengalami batuk dan sesak napas. Semua pasien adalah orang dewasa, dengan usia rata-rata 54,56 ± 14,46 tahun dan sebagian besar pasien memiliki penyakit penyerta (Diabetes Mellitus Tipe 2). Tak satu pun dari sembilan pasien memiliki penyakit hati yang mendasarinya, dan semuanya dinyatakan negatif untuk HbsAg dan anti-HCV. Peningkatan CRP, D-dimer dan prokalsitonin juga ditemukan, dengan rerata masing-masing 12,27 ± 15,34, 1861,29 ± 1828,85 dan 1,54 ± 2,84. Obat yang berbeda digunakan dengan obat anti virus, yang paling umum adalah N-acetylcysteine, sedangkan Levofloxacin adalah antibiotik yang paling umum. Rata-rata lama rawat inap adalah 28,11 ± 20,81, dengan satu kematian tercatat dalam kelompok Lopinavir-Ritonavir.

Namun, belum ada terapi yang terbukti secara ilmiah dapat menyembuhkan COVID-19. Terapi COVID-19 sekarang berfokus terutama pada terapi suportif dan pencegahan komplikasi. Agen anti-virus yang efektif dan aman sangat diperlukan untuk meringankan beban pelayanan kesehatan. Dalam penelitian kami, pemberian Remdesivir, Lopinavir-Ritonavir, dan Favipiravir menyebabkan kelainan hati yang ditandai dengan peningkatan AST atau ALT pada beberapa tetapi tidak semua pasien. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih signifikan dan pengecualian pasien dengan kelainan hati sebelum terapi diperlukan untuk membahas lebih lanjut efek Remdesivir, Lopinavir-Ritonavir, dan Favipiravir pada fungsi hati.

Artikel dapat diakses:  https://doi.org/10.1016/j.amsu.2022.104876

Penulis

Intan Rizkia Dewi

Ummi Maimunah