UNAIR NEWS – Presiden Joko Widodo menjadi presiden Indonesia pertama yang mengakui dua belas pelanggaran HAM berat Indonesia di masa lalu. Hal itu ia ucapkan dalam pidatonya pada Rabu (11/1/2023) lalu di depan istana negara, setelah menerima laporan dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Dosen Fakultas Hukum UNAIR, E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PhD, turut memberi pendapatnya atas hal itu. Menurutnya, pidato tersebut menjadi pengakuan oleh negara bahwa memang telah terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Pengakuan itu suatu hal yang baik. Berarti kerja investigasi yang dilakukan Komnas HAM tidak sia-sia,” tuturnya. Hal tersebut ia katakan lantaran selama ini tidak ada tindak lanjut atas berbagai pelanggaran HAM berat tersebut.
Meskipun demikian, Joeni berpendapat bahwa masih ada kekurangan dalam pengakuan tersebut.
“Pidato itu nanggung. Tidak ada satupun kata maaf yang terlontar dari mulut presiden,” tutur Direktur Pusat Studi Pluralisme Hukum FH UNAIR tersebut.
Dirinya mengatakan, permintaan maaf tersebut diperlukan agar status korban pelanggaran HAM jelas. Dengan demikian, hak-hak mereka sebagai korban dapat terpenuhi. “Restitusi, rehabilitasi, dan ganti rugi adalah hak korban. Itu kewajiban negara sebagai sebuah institusi.”
Selain permintaan maaf, Joeni juga menyayangkan kurangnya tindak lanjut berupa pengadilan HAM dari pengakuan tersebut.
“Ketika sudah mengakui, seharusnya pengadilan HAM-nya digelar, dong,” ungkapnya pada Rabu (25/1/2023).
Pengadilan HAM tersebut, Joeni melanjutkan, tidak bertujuan untuk menghukum pelaku, mengingat banyak pelaku yang memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk diberikan penghukuman karena berbagai macam faktor, salah satunya faktor usia. Akan tetapi, hal itu bertujuan untuk menetapkan kebenaran sekaligus menjamin hak-hak korban. Dirinya khawatir, proses pemenuhan hak korban pelanggaran HAM akan dilakukan sepihak apabila tidak didasarkan pada keputusan pengadilan.
“Yang menentukan besaran (ganti rugi, red)-nya seharusnya adalah pengadilan. Itu pentingnya mekanisme pro justitia,” jelas Joeni.
Dosen Dasar Ilmu Hukum UNAIR tersebut menyarankan, harus diadakan tindak lanjut berupa penuntutan oleh Jaksa Agung atas pengakuan tersebut. Dengan demikian, pengadilan HAM bisa digelar, dan hak para korban dapat dipenuhi.
“Demi hak-hak para korban, demi keadilan, dan demi tegaknya prinsip negara hukum republik Indonesia.”Penulis: Ghulam Phasa Pambayung
Editor: Khefti Al Mawalia