Antibiotik umumnya digunakan dalam pertanian dan peternakan hewan, serta dalam pencegahan dan etiologi penyakit mikroba. Namun, antibiotic tidak banyak termetabolisme dalam tubuh manusia; sekitar 70% antibiotik ini akan diekskresikan melalui tinja dan urin, dan jumlah besar residunya dapat ditemukan di air permukaan dan air limbah. Selain itu, residu antibiotik merupakan salah satu kontaminan kimia utama dalam susu dan produk susu, membuatnya tidak layak untuk dikonsumsi dan dapat menimbulkan beberapa risiko bagi kesehatan masyarakat. Akibat adanya senyawa antibiotik ini dalam lingkungan untuk waktu yang lama, mikroorganisme patogen dapat menjadi persisten dan bertahan hidup di lingkungan karena sulit terurai dengan sendirinya. Oleh karena itu, negara-negara di Eropa, melalui hukum Uni Eropa (Eur-Lex), menyatakan bahwa antibiotik dalam lingkungan akuatik (ambang EC50 ≤ 1 ppm) sangat beracun bagi organisme akuatik dan tanah, dan menetapkan batas residu maksimum untuk antibiotik ini dalam susu sebesar 0,1 mg L−1 [8].
Untuk menghasilkan hasil deteksi antibiotik dengan sensitivitas dan akurasi tinggi, beberapa metode dapat digunakan, seperti kromatografi (HPLC), spektrofotometri UV-VIS, analisis elektrokimia, dan elektroforesis kapiler. Namun, metode-metode ini mahal. Mereka memerlukan banyak bahan kimia dan memakan waktu lama. Sebagai alternatif, aplikasi elektroda dalam sensor elektrokimia dapat digunakan dengan baik. Hal ini dimungkinkan karena antibiotik memiliki molekul elektroaktif; cincin piperazin dalam struktur antibiotik dapat dioksidasi secara elektrokimia. Metode ini memiliki banyak keuntungan, termasuk efektif dan efisien, serta memiliki sensitivitas tinggi, biaya rendah, kecepatan analisis cepat, dan peralatan yang sederhana.
Penulis: Prastika Krisma Jiwanti, S.Si., M.Eng., Ph.D.
Penjelasan lebih lengkap dapat diakses pada laman berikut ini https://doi.org/10.22146/ijc.82135.