Universitas Airlangga Official Website

Perilaku Peduli Lingkungan dan Modal Sosial

Peningkatan kualitas lingkungan merupakan salah satu agenda pembangunan di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappnenas) menyatakan bahwa keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini masih bertumpu pada sektor komoditas dan sumber daya alam sangat bergantung pada kualitas lingkungan hidup.

Indikator kualitas lingkungan yang diukur oleh Indeks Kinerja Lingkungan – Environmental Performance Index (EPI) tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 116 dari 180 negara dengan skor 37,8 dari skor maksimal 100. Skor EPI Indonesia tersebut berada di bawah beberapa negara tetangga, seperti Singapura (peringkat 39 dengan skor 58,1) dan Malaysia (peringkat 68 dengan skor 47,9). Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga masyarakat. RPJMN mengamanatkan bahwa peningkatan kualitas lingkungan merupakan tanggung jawab bersama karena kualitas lingkungan merupakan barang milik umum.

Salah satu penyebab buruknya kualitas lingkungan adalah ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, Masyarakat seringkali menjadi ‘free rider’ (berperilaku acuh tak acuh terhadap lingkungan) yang berujung pada kurang optimalnya penyediaan barang publik. Praktek di banyak negara menunjukkan bahwa Perilaku Peduli Lingkungan (PPL) dapat memberikan dampak besar terhadap upaya meningkatkan kualitas lingkungan, menghentikan kerusakan lingkungan, dan berkontribusi nyata terhadap mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi agenda lingkungan global.

Berbagai studi ilmiah dengan pendekatan teoritis dan metodologis yang bervariasi mencoba menemukan faktor pendorong PPL. Sebagian besar studi lebih banyak menyoroti pengaruh aspek demografi dan sosio-ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh modal sosial (social capital) terhadap PPL di Indonesia. Selama ini studi empiris tentang peranan modal manusia banyak dibahas dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan kurang mendapat perhatian dalam kaitannya dengan masalah lingkungan, terutama PPL.

Modal sosial merupakan sumberdaya tidak berwujud (intangible resource) yang menentukan sikap individu dalam mengurangi kerusakan lingkungan dan mendorong tanggung jawab yang besar terhadap kelestarian lingkungan. Definisi modal sosial belum disepakati secara umum. Dalam penelitian ini modal sosial diukur oleh indeks komposit dari 4 (empat) dimensi, yaitu kepercayaan terhadap tetangga, kepercayaan terhadap pemerintah, partisipasi sosial, dan toleransi. Demikian pula dengan PPL diukur oleh 4 (empat) dimensi, yaitu penghematan energi, pengematan air, penggunaan kendaraan, dan pengolahan limbah. Penelitian ini menggunakan data mikro Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan tahun 2021 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan unit analisis sebanyak 69.482 rumah tangga dan kepala rumah tangga sebagai responden penelitian. Selain modal sosial, pada penelitian ini juga dimasukkan aspek demografi dan sosio-ekonomi sebagai variabel kontrol, yaitu umur, jenis kelamin, status pernikahan, pendapatan rumah tangga, status pekerjaan, wilayah tempat tinggal, dan lama menetap.

Hasil estimasi menunjukkan indeks PPL sebesar 65,88 (skala 0-100) yang menunjukkan relatif rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan modal sosial sebesar 73,33 (skala 0-100) yang dapat dikategorkan relatif tinggi. Adapun hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa modal sosial merupakan faktor pendorong penting terhadap PPL. Berdasarkan dimensi PPL, modal sosial berpengaruh paling besar terhadap partisipasi sosial, selanjutnya diikuti oleh kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap tetangga, dan toleransi. Temuan-temuan lain dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, PPL lebih tampak pada perempuan dibandingkan laki-laki, masyarakat pedesaan dibandingkan perkotaan, masyarakat yang berstatus menikah (memiliki pasangan) dibandingkan mereka yang tidak memiliki pasangan. Kedua, PPL semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Ketiga, meningkatnya pendapatan justru menurunkan PPL. Fakta mengonfirmasi pendapat Lavelle dkk. (2015), Ozaki (2011), Gadenne dkk. (2011), dan Huebner dkk. (2016) bahwa PPL berkaitan dengan kondisi finansial. Ini artinya masyarakat berpendapatan tinggi (kaya) akan cenderung boros air, listrik, dan bahan bakar, sedangkan masyarakat berpendapatan rendah (miskin) terdorong untuk memperbaiki dan menggunakan kembali peralatan yang rusak daripada membeli baru. Keempat, meningkatnya tingkat pendidikan tidak meningkatkan PPL. Beberapa studi, diantaranya Lavelle dkk. (2015) menunjukkan bahwa masyarakat berpendidikan tinggi cenderung memiliki perilaku rendah untuk mematikan TV dan lampu, serta menggunakan transportasi umum.

Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini menyarankan pemerintah untuk lebih mendorong peningkatan modal sosial melalui pelaksanaan berbagai kegiatan bersama di lingkungan masyarakat sekitar dan sosialisasi informasi terkait permasalahan lingkungan. Selain itu, pemerintah dan organisasi perlindungan lingkungan dapat mulai menyuarakan penghematan biaya yang dapat dicapai oleh PPL, terutama perilaku hemat listrik dan air.

Penulis: Deni Kusumawardani

Artikel tersebut disarikan dari publikasi berjudul: “Pro-Environmental Behavior and Social Capital in Indonesia 2021: A Micro Data Analysis”. International Journal of Sustainable Development and Planning Vol. 18, No. 7, July, 2023, pp. 2107-2119. Link: https://doi.org/10.18280/ijsdp.180713