Universitas Airlangga Official Website

Potensi Kreator Konten dan Tantangan Kebijakan

Ilustrasi kreator konten (Sumber: Kompas)
Ilustrasi kreator konten (Sumber: Kompas)

Mayoritas pengangguran saat ini adalah lulusan sarjana dari kalangan generasi z. Kondisi menunjukkan bahwa pemerintah gagal memanfaatkan bonus demografi secara optimal. Tidak optimalnya pemerintah menangani masalah ini salah satunya karena mismatch lapangan kerja yang tersedia dengan keahlian sarjana. Selain itu, tren work-life balance yang semakin meningkat di kalangan generasi ini membuat mereka memilih untuk tetap menganggur sampai muncul pekerjaan yang layak.

Di sisi lain, ada potensi industri yang begitu menjanjikan. Bahkan survei dari Adobe tahun 2022 menyatakan bahwa 1 dari 4 orang bergelut dalam industri ini. Tahun 2023 saja, potensinya sampai 7 triliun dan akan meningkat 5 kali lipat di tahun 2027 seiring dengan berkembangnya platform digital. Industri tersebut adalah industri kreator konten.

Kreator konten termasuk ke ranah ekonomi kreatif, karena fokus pada inovasi dan kreativitas untuk proses produksi, distribusi dan konsumsinya. Sebab, alasan inilah sebenarnya pekerjaan di industri ini, bisa tidak terlalu bergantung pada pekerjaan yang pemerintah sediakan. Terlebih lagi, kita melihat adanya laporan Bank Dunia Desember 2023 yang menunjukkan bahwa pekerjaan layak dengan standar kelas menengah, mengalami penurunan yang signifikan. Yaitu dari 14% menjadi 9% dari seluruh lapangan kerja antara tahun 2019 dan 2022.

Menjamurnya beragam aplikasi dan banyaknya video tutorial gratis yang ada di YouTube, juga semakin accessible-nya internet menjadikan produk media digital lebih mudah dihasilkan oleh kreator konten. Hambatan aplikasi editing yang berbayar, biasanya akan mudah teratasi dengan adanya culture aplikasi bajakan yang beredar di industri ini.

Di balik peluang dan kesempatan yang positif di atas, ternyata perkembangan platform digital juga menyuguhkan tantangan tersendiri. Di era digital saat ini, di mana setiap orang memiliki hak asasi digital (mengakses, menggunakan menyebarluaskan kerja digital termasuk mengekspresikan pemikirannya di berbagai platform online), muncul kekhawatiran akan banyaknya penyebaran informasi yang salah/hoaks, meningkatnya hate speech, dan potensi kejahatan berbasis daring. 

Para ahli berpendapat bahwa menyeimbangkan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dengan kebutuhan akan perilaku online yang bertanggung jawab, merupakan tugas yang sulit bagi pemerintah di seluruh dunia. Beberapa negara mengadopsi pendekatan laissez-faire, memprioritaskan kebebasan berbicara, sementara negara lain condong ke arah tindakan yang lebih ketat untuk mengekang potensi bahaya. Seperti halnya di Cina yang menerapkan mekanisme penyensoran konten yang ketat. Sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang penindasan terhadap suara-suara yang berbeda pendapat (dengan penguasa).

Lahirnya General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa adalah contoh lain dari risiko yang muncul di era digital. Meningkatnya kejahatan yang memanfaatkan data pribadi menunjukkan bahwa penggunaan teknologi digital mengganggu privasi dan keamanan data atau privacy rights. Lantara, data pribadi sering terancam oleh pelanggaran privasi dan pencurian data online.

Di indonesia, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 beserta amendemennya yang mengatur informasi dan transaksi elektronik (ITE). Khususnya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 26 yang memiliki peran penting dalam regulasi media digital dan konten online. Pasal 27 ayat 3 menekankan pada pemberantasan fitnah dalam dunia digital. Pasal ini menetapkan sanksi hukum bagi mereka yang sengaja menyebarkan informasi elektronik yang bersifat merugikan atau fitnah dalam ranah online, dengan ancaman penjara hingga 4 tahun dan denda maksimal Rp 750.000.000.

Efektivitas regulasi ini terukur dari tanggung jawab aktivitas online yang kreator dan konsumen tunjukkan. Rancangan regulasi ini berfungsi untuk mencegah tindakan negatif di internet, menjaga integritas serta kesopanan dalam berkomunikasi online, menghormati pengguna, dan mendukung konten yang berkualitas serta bertanggung jawab dengan visi menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan menghargai kreator konten.

Sedangkan regulasi berikutnya yaitu Pasal 26 menekankan perlindungan data pribadi dalam media elektronik. Pasal ini mensyaratkan bahwa setiap penggunaan data pribadi yang melibatkan media elektronik harus memiliki persetujuan dari individu yang bersangkutan. Ketentuan ini penting untuk melindungi hak privasi dan memastikan bahwa informasi pribadi mereka olah dengan bertanggung jawab dan etis secara online. Mekanisme ini mengamankan privasi pengguna dan mencegah pelecehan online, serta mempromosikan transparansi dalam bisnis digital.

Para pelaku media digital memang menerapkan regulasi di atas untuk menghindari fitnah dan pelanggaran privasi online. Meskipun ada peraturan itu, pada praktiknya di lapangan, masih saja penyebaran informasi hoaks dan pencemaran nama baik sering kita jumpai. Kominfo mencatat ada 11.357 hoaks dari tahun 2018 sampai triwulan pertama 2023. Dengan 470 di antaranya adalah terkait pencemaran nama baik. Kondisi ini semakin buruk dengan adanya ambiguitas dalam undang-undang ITE ini. Termasuk pasal 27 ayat 3 yang berpotensi disalahgunakan untuk tebang pilih dalam penegakan hukum.

Pasal 26 pun terkait perlindungan data pribadi masih menjerat dalam tataran perdata. Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet memandang bahwa pengertian “data pribadi” itu sendiri masih jadi perdebatan. Terutama di level akademisi, hukum privasi, hingga pihak pemerintah dalam hal ini Kominfo. Di tengah kondisi regulasi seperti ini, hendaknya pemerintah segera menyempurnakan peraturan dengan pendekatan yang lebih jelas, adil, dan konsisten dalam penegakan hukum.

Selain itu, untuk memicu pertumbuhan kreator konten yang bertanggung jawab, perlu adanya edukasi terkait pemanfaatan peluang yang terbuka di dunia online. Kominfo selaku penanggungjawab sektor ini, sebenarnya sudah melakukan program yang sangat positif melalui program Digitalent Kominfo yang bisa dinikmati oleh masyarakat secara gratis. Namun, tidak cukup hanya Kominfo saja, perlu kerja sama serius dari instansi pemerintah lain. Tentunya perlu juga dari masyarakat sendiri untuk sadar digital, supaya bisa memanfaatkan bukan dimanfaatkan.

Penulis: Deni Asmayadi, Muhammad Bisri, Onisca Vazaha