Universitas Airlangga Official Website

Deteksi Molekuler Klebsiella Pneumoniae Penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase yang Diisolasi dari Kotoran Kelelawar

Deteksi Molekuler Klebsiella Pneumoniae Penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase yang Diisolasi dari Kotoran Kelelawar
Ilustrasi Kelelawar (sumber: Kompas)

Kelelawar termasuk dalam ordo besar Chiroptera dan tersebar luas di seluruh dunia, dengan banyak spesies yang mengeksploitasi lingkungan perkotaan dan pemukiman. Spesies ini dianggap sebagai reservoir dari banyak spesies virus yang secara periodik menyebar pada populasi manusia selama wabah penyakit dan dinamikanya. Kelelawar juga dikenal sebagai reservoir bakteri patogen yang potensial. Kelelawar mempunyai kebiasaan mencari makan dan terbang jarak jauh, yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan manusia di lingkungan gua/tempat tinggalnya, terutama yang dekat Tanjung Ringgit gua kelelawar, Lombok Timur. Berbagai jenis virus dan bakteri juga ditemukan pada kelelawar.

Baru-baru ini, Klebsiella pneumoniae telah menjadi terkenal sebagai agen infeksi karena meningkatnya jumlah infeksi parah dan semakin langkanya pengobatan yang efektif. Sepanjang K. pneumoniae merupakan sumber utama antibiotik resisten dengan prevalensi yang tinggi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengelompokkan K. Pneumoniae sebagai salah satu bakteri penting yang terlibat dalam antibiotik resisten dan merupakan bakteri yang paling sering menyebarkannya gen resisten. Kemunculan dan penyebaran strain multidrug resisten (MDR) dari K. pneumoniae menunjukkan resistensi terhadap antibiotik, terutama antibiotik jangka panjang.

Extended spectrum beta-lactamase (ESBL) dianggap sebagai ancaman kesehatan global yang penting. Apalagi dengan cepat penyebaran mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba (AMR) pada K. Pneumoniae. Menurut data sistem pemantauan AMR dan MDR K. Pneumoniae dalam populasi telah meningkat secara dramatis. Meningkatnya laporan K. Pneumoniae menyebar pada hewan liar yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, termasuk ESBL, juga penting penyebaran K. pneumoniae. Plasmid pada bakteri K. Pneumoniae memiliki beberapa jenis gen yang dapat mengkode ESBL: blaTEM, blaSHV, blaOXA, dan blaCTX-M adalah beberapa di antaranya dari tipe utama gen ESBL yang berevolusi dengan cepat yang telah menyebar di antara berbagai bakteri, sehingga menimbulkan masalah klinis wilayah geografis.

Informasi tentang kelelawar sebagai reservoir dan vektor penyebaran bakteri zoonosis dan patogen K. pneumoniae di Lombok, Indonesia masih sangat minim, sehingga memberi semangat lebih lanjut

penelitian untuk mendeteksi patogen K. Pneumoniae bakteri dari gua kelelawar Tanjung Ringgit Timur Lombok berisiko menularkan ke manusia, hewan, dan lingkungan. Selain itu, kedekatan dengan hewan peliharaan atau manusia sering disarankan sebagai penginduksi ESBL diproduksi oleh K. Pneumoniae. Potensi hewan liar, terutama dari kelelawar, sepanjang pengetahuan kami, tidak ada penelitian yang menunjukkan penularan antara keduanya manusia dan hewan liar atau sebaliknya. Untuk mendapatkan wawasan asal usul ESBL yang dihasilkan oleh K. Pneumoniae dari kelelawar, diperlukan kajian melalui pengujian sensitivitas dan analisis molekuler blaSHV gen ESBL dari K. pneumoniae diisolasi dari kotoran kelelawar dari gua Tanjung Ringgit Lombok Timur, Indonesia untuk studi lebih lanjut. Kajian ini dilakukan untuk mendeskripsikan potensi penyebaran K. pneumoniae oleh kelelawar dan cara preventifnya untuk dapat dilaksanakan.

Spesimen feses kelelawar sebanyak 150 didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan 14/150 (9,3%) segar sampel kotoran kelelawar diambil dari kelelawar dari gua Tanjung Ringgit, Lombok Timur, positif K. pneumoniae.  Setelah dilakukan pengujian dengan antibiotic sensitivity test dengan hasil didapatkan MDR K. pneumoniae sebanyak 10/14 (71,4%). Hasil MDR K. pneumoniae dilanjutkan untuk mendeteksi K. pneumoniae penghasil ESBL denngan mengunakan Teknik PCR yang dicari gen blaSHV sebagai gen penyandi ESBL didapatkan 6/10 (60%). Deteksi molekuler gen ESBL menggunakan PCR, dan dipastikan enam sampel positif mengandung gen blaSHV. Deteksi bakteri K. pneumoniae pengkodean ESBL dari kotoran kelelawar segar menunjukkan perlu memantau penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan.

Gen blaSHV adalah gen yang sering ditularkan melalui plasmid dan sering ditemukan di K. pneumoniae dan telah menyebar luas di bakteri Enterobacteriaceae. Masalah kesehatan masyarakat saat ini adalah ditemukannya gen blaSHV penyandi ESBL dari feses kelelawar. Menurut pada klasifikasi Ambler, ESBL termasuk dalam Kelas A dengan SHV, salah satu gen pengkode. Gen ini paling sering ditemukan pada K. pneumoniae dan bertanggung jawab atas 20% resisten terhadap ampisilin yang dimediasi plasmid. ESBL jenis ini banyak ditemukan di Eropa dan Amerika, namun saat ini ditemukan di seluruh wilayah dunia.

Kehadiran gen pengkode ESBL menunjukkan penyebaran gen resistensi pada bakteri dari manusia ke hewan bakteri, khususnya K. pneumoniae, yaitu MDR, yang menimbulkan ancaman terhadap kesehatan masyarakat dan peternakan. Oleh karena itu pencemaran lingkungan berasal dari feses, air, dan tanah yang mengandung bakteri yang resisten antibiotik dapat menjadi sumber potensial penyebaran AMR. Kelelawar adalah hewan makhluk liar dengan kebiasaan merantau dan terbang jauh, bahkan antar benua, jadi punya potensi menjadi reservoir bagi bakteri MDR yang mampu produksi ESBL. Dengan demikian, jalur baru penularan MDR dan ikut bertanggung jawab atas global adanya penyebaran resistensi antibiotik. Kontaminasi dari makanan dan air oleh satwa liar, terutama kelelawar, diakui sebagai faktor risiko penting dalam penularan bakteri patogen atau yang resisten antibiotik pada manusia dan hewan.

Berdasarkan fenomena tersebut, peran semua pihak seperti dalam konsep One Health adalah diperlukan untuk mencegah penyebaran MDR lebih luas. Pendekatan One Health adalah sebuah pendekatan yang membahas tentang manusia, hewan, dan lingkungan kesehatan. Apalagi kesehatan manusia sangat erat berkaitan dengan kesehatan hewan dan lingkungan. Pendekatan One Health Solution diterapkan menggunakan tiga prinsip: komunikasi, koordinasi, dan kerjasama antara kesehatan manusia, hewan, lingkungan hidup, dan sektor lainnya.

Penulis: Dr. Wiwiek Tyasningsih, drh., MKes.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada: www.doi.org/10.14202/IJOH.2024.133-14

Baca juga: Karakterisasi Molekuler Strain Trypanosoma Evansi yang Resisten terhadap Trypanocidal