Universitas Airlangga Official Website

Fenomena Brain Rot dari Kacamata Psikologi

Ilustrasi media sosial (Foto: Pexels)

UNAIR NEWS – Media sosial kini menjadi media informasi yang memengaruhi gaya hidup manusia. Kebutuhan akan informasi dan unjuk diri menjadi esensial di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi. Terlepas dari kebutuhan manusia, pola bermedia sosial hari ini memiliki banyak implikasi, salah satunya brain rot. Brain rot atau pembusukan otak menjadi kata yang populer akibat munculnya dampak buruk dari bermedia sosial. Prof Dr Nurul Hartini SPsi MKes Psikolog, Guru Besar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (UNAIR), memaparkan kaitan hal tersebut dengan kesehatan mental. 

Menurut Nurul, ada kondisi tertentu ketika seseorang dapat dikatakan memiliki pola yang buruk dalam bermedia sosial. “Ketika kemudian mengurangi perilaku produktif dari individu yang menggunakan, sehingga lebih banyak memunculkan kegiatan yang justru kontraproduktif,” ungkap Nurul.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa setiap orang memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing dalam tatanan masyarakat. Media sosial dalam hal ini dapat menjadi pendorong maupun penghambat perilaku produktif seseorang. Jika seseorang justru mendapatkan hal-hal yang kontraproduktif dari media sosial, maka saat itu pola perilaku dalam bermedia sosial perlu diperbaiki. 

Prof Dr Nurul Hartini SPsi MKes Psikolog, Guru Besar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (Foto: Istimewa)
Prof Dr Nurul Hartini SPsi MKes Psikolog, Guru Besar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (Foto: Istimewa)

Di samping perilaku yang kontraproduktif, Nurul juga mengimbau terkait perilaku negatif yang muncul akibat media sosial. “Apalagi kalau itu menimbulkan perilaku negatif, baik secara kognitif maupun secara emosi. Ya kita kenal dengan istilah fear of missing out,” paparnya.

Pada dasarnya, informasi yang ada di media sosial cenderung informasi ringan. Jika dikonsumsi berlebihan tanpa diimbangi literasi lain yang berkualitas, ini akan menyebabkan penurunan kognitif seseorang. Sebab, informasi yang seseorang terima akan memengaruhi sistem sarafnya.

“Yang dibaca di media sosial itu kan tidak terlalu dalam. Akan berbeda jika yang kamu baca adalah buku, jurnal, literatur secara formal yang memang memberikan kita informasi yang dalam dan luas,” imbuh Nurul.

Pembatasan media sosial dan gadget perlu dilakukan bagi setiap jenjang usia. Bagi anak-anak, lingkungan sekolah dan keluarga harus menjadi pengawas dalam membentuk perilaku bermedia sosial yang sehat. Namun, beranjak dewasa, kesadaran seseorang perlu untuk muncul dengan sendirinya. “Pada orang dewasa manajemen itu memang harus sudah diletakkan pada dirinya sendiri,” pungkasnya.

Penulis: Afifah Alfina

Editor: Yulia Rohmawati