Resistensi antibiotik merupakan masalah penting dalam kesehatan hewan dan manusia. Bakteri yang secara alami memiliki gen resistensi antibiotik dapat mentransfer gen tersebut ke bakteri lain. Selain itu, bakteri juga mampu menghasilkan enzim yang berfungsi menghambat kinerja antibiotik. Perkembangan resistensi antibiotik telah menyebar ke seluruh dunia. Resistensi antibiotik beta-lactamase umumnya terjadi pada bakteri Gram negatif. Bakteri penghasil extended spectrum beta-lactamase (ESBL) seperti Escherichia coli dapat diisolasi dari berbagai hewan penghasil makanan yang diketahui sebagai reservoir E. coli penghasil ESBL. Gen pembentuk enzim ESBL ditemukan setelah ditemukannya sefalosporin spektrum luas dan pertama kali diperkenalkan di Eropa pada tahun 1980-an. Gen pembentuk ESBL dapat ditemukan pada isolat E. coli di berbagai negara.
Enzim extended spectrum beta-lactamase ini telah tersebar di berbagai organisme. Enzim tersebut tidak hanya mampu menghidrolisis penisilin, tetapi juga antibiotik terbaru yaitu sefalosporin golongan 3 dan monobaktam. E. coli penghasil ESBL dapat ditemukan pada manusia, hewan ternak, dan satwa liar, pada jaringan saluran pencernaan, dan pada jaringan urin yang terinfeksi. Pencemaran lingkungan oleh bakteri ESBL telah banyak dilaporkan terutama di negara maju dan berkembang. Air limbah mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebarkan infeksi ESBL ini, terutama limbah rumah sakit yang sebagian besar mengandung E. coli penghasil ESBL.
Tidak hanya itu, satwa liar khususnya burung juga dapat berkontribusi terhadap penyebaran bakteri extended spectrum beta-lactamase tersebut dengan bermigrasi secara bebas dari satu daerah ke daerah lain, antara perkotaan dan lahan pertanian, sehingga berperan dalam penyebaran bakteri ESBL, terutama di daerah yang secara ekologis miskin atau tercemar. Penyebaran penyakit menular melalui perjalanan internasional telah banyak dilaporkan, misalnya wisatawan dari negara maju yang bepergian ke negara endemis atau negara dengan sanitasi yang buruk, dan biaya pengobatan yang rendah, juga dapat berperan dalam impor bakteri yang resisten terhadap beberapa penyakit. antibiotik, termasuk bakteri ESBL setelah kembali ke negara asalnya membawa (carriage) Keberadaan satwa liar di lingkungan tidak bersentuhan langsung dengan antibakteri.
Ada kemungkinan bahwa hewan liar mereka terpapar residu antibakteri dengan mencari makan dan minum di lingkungan yang terkontaminasi dengan aktivitas antropogenik terkait. Hasil beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keberadaan satwa liar yang hidup di dekat manusia dan dekat dengan kawasan pertanian menunjukkan angka kejadian kasus akibat resistensi antimikroba menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang hidup di lingkungan yang jauh dari manusia. Keanekaragaman satwa liar, pola makan yang dikonsumsi, serta tingginya toleransi hewan terhadap aktivitas dan kedekatannya dengan lingkungan yang dihuni manusia merupakan hal-hal yang dapat menimbulkan resistensi antimikroba dan residu antimikroba, oleh karena itu hal ini menyebabkan spesies satwa liar dipercaya sebagai spesies. potensi reservoir resistensi antimikroba pada satwa liar.
Banyak pertanyaan mengenai peran satwa liar, misalnya dalam konteks kejadian kasus resistensi antimikroba di alam liar serta kasus infeksi yang berhubungan dengan manusia. Penelitian yang dipublikasikan sebelumnya menyatakan bahwa kejadian tersebut melibatkan hewan liar di hutan, dan spesies bakteri yang paling umum ditemukan adalah E. coli. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis E. coli penghasil ESBL yang dikumpulkan dari rusa sebagai satwa liar di wilayah penelitian terbatas di Indonesia. Kami secara khusus membahas deteksi molekuler E. coli penghasil ESBL. Feses rusa liar dipilih untuk mengetahui keberadaan E. coli sebagai penghasil ESBL dari hewan liar sehingga dapat diketahui resistensinya terhadap antibiotik beta-laktam.
Hal ini sangat berguna untuk perbandingan perkiraan prevalensi ESBL-E coli di masa depan yang bersumber dari satwa liar dan akan sangat membantu menilai beban AMR pada satwa liar dengan hasil yang lebih baik. habitatnya, kontak antara hewan liar dengan hewan lain seperti ternak dan manusia akan meningkat, yang kemudian mengakibatkan peningkatan dan pertukaran resistensi antibiotik baik dalam konteks isolat bakteri tetapi juga perubahan unsur genetik bakteri. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa hewan liar yang hidup dekat dengan populasi manusia berpotensi membawa tingkat AMR dan MDR yang lebih tinggi. Hal ini tentunya dapat terjadi melalui lingkungan seperti lingkungan perairan atau kontaminasi yang terjadi pada lahan pertanian.
Resistensi yang disebabkan oleh ESBL E. coli berdampak pada perekonomian dengan menurunkan produktivitas hewan yang terinfeksi, kematian, dan biaya pengobatan di seluruh sektor peternakan, hewan dapat bertindak sebagai reservoir E. coli patogen. Kotoran hewan menjadi sumber penularan E. coli yang kemudian dapat menyebar ke lingkungan. ESBL E. coli merupakan strain yang patogen dan dapat menular ke manusia tidak hanya melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi feses tetapi juga dari lingkungan yang terkontaminasi. Namun pemberian antibiotik yang tidak tepat juga dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten.
Selain menjadi reservoir berbagai gen resistensi antibiotik, bakteri E. coli juga merupakan reservoir resistensi beta-laktam yang mengkode gen beta-laktamase. Enterobacteriaceae menghasilkan enzim ESBL yang dapat menghidrolisis penisilin dan sefalosporin generasi ketiga, monobaktam, dan antibiotik lain, kecuali karbapenem (meropenem, imipenem, dan ertapenem). Enzim ESBL ini terutama dikodekan oleh beberapa gen penyandi spesifik seperti gen blaSHV, blaCTX-M, dan blaTEM. Banyaknya sumber paparan yang berpotensi menularkan E. coli penghasil ESBL, sehingga penyelidikan epidemiologi menjadi sangat sulit, transfer gen horizontal dari bakteri menghasilkan distribusi gen penyandi ESBL yang lebih luas di antara berbagai spesies bakteri.
Interaksi terjadi pada tingkat mikroba pada manusia dan hewan, terutama antara bakteri komensal dengan bakteri patogen, bakteri fakultatif, dan bakteri obligat dalam lingkungan yang sama. ‘One Health’ diperlukan untuk memahami dan mengidentifikasi kemungkinan mencegah penyebaran gen pengkode ESBL dan infeksi pada manusia, melalui pendekatan integrative. Penerapan konsep integrasi One Health untuk mempercepat pencegahan dan prediksi penyakit sebagai upaya pengendalian E. coli penghasil ESBL. Pendekatan banyak sektor dalam bidang pengobatan di bidang kedokteran hewan, obat-obatan, dan produksi pangan hewani, dapat menciptakan kerjasama dalam mengendalikan pertumbuhan E. coli yang resisten antibiotik, untuk kepentingan kesehatan masyarakat.
Identifikasi molekuler gen blaTEM yang terdapat pada kotoran segar rusa asal daerah Jawa Timur dan Nusa Tenggara, Indonesia terbukti dapat digunakan untuk mengidentifikasi E. coli penghasil ESBL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa E. coli yang bersumber dari kotoran rusa segar menghasilkan ESBL dengan prevalensi yang relatif rendah. Meskipun hasil prevalensinya rendah, E. coli penghasil ESBL menunjukkan potensi penyebaran dan ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Penulis: Prof. Dr. Mustofa Helmi Effendi, drh., DTAPH
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
Baca Juga: Resistensi Multidrug pada Escherichia Coli diisolasi dari Kelelawar