Universitas Airlangga Official Website

Ekspansi Populisme di Balik Krisis Ukraina

Foto by Kompas id

Di balik perang Rusia-Ukraina, rubrik politik dunia kini dipenuhi wacana pertaruhan besar demokrasi liberal lawan otoritariansime yang akan menentukan nasib warga Bumi di masa depan. Kemenangan salah satu dari dua kutub bisa membawa konsekuensi dramatis seperti yang pernah terjadi pasca dua Perang Dunia abad ke-20 lalu. Namun di luar arena oposisi biner itu, fenomena politik populisme berekspansi ke seluruh dunia. Efek populis pun terasa dalam kebijakan luar negeri Indonesia.   

Menurut pendukung demokrasi liberal, kekompakan Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Australia, Kanada, dan negara demokratis lain untuk melancarkan sanksi ekonomi terhadap Rusia merupakan indikasi bahwa demokrasi semakin solid. Selain itu, aksi negara-negara anggota NATO yang beramai-ramai menggelontorkan bantuan militer ke Ukraina dianggap sebagai wujud nyata kesadaran kolektif pro-demokrasi melawan invasi diktator Vladimir Putin. Dua gejala kolektivitas global semacam ini memang belum pernah muncul sejak Uni Soviet ambruk pada akhir 1990. Ramalan Francis Fukuyama “the end of history and the last man” yang menyebut demokrasi liberal pada akhirnya menjadi satu-satunya tujuan dan metode politik setelah keruntuhan komunisme Eropa Timur diklaim terbukti benar.

Optimisme liberalis diperkuat dengan klaim ketidakefektifan operasi militer yang dilancarkan Rusia. Mereka merujuk pada laporan media Barat soal demoralisasi ribuan tentara Rusia menghadapi kegigihan Ukraina. Ratusan diplomat Rusia frustrasi karena diisolasi dari berbagai forum internasional. Akibat dari kemerosotan kekuatan Rusia, legitimasi Putin turun dan rezim otoriter Kremlin sedang menghadapi friksi dan gejolak internal.

Pada spektrum yang berseberangan, ada keraguan terhadap strategi Barat dalam menangani agresivitas Putin. Raghuram Rajan dari Universitas Chicago mengingatkan bahwa tekanan berupa sanksi ekonomi terhadap Rusia tidak berkorelasi positif menurunkan kapabilitas militer Rusia dan tidak efektif untuk menjatuhkan Putin. Pandangan Rajan bisa dikonfirmasi. Pertama, Rusia dan China sudah sepakat untuk saling membantu. Sebelum Rusia menyerang Ukraina, Presiden China Xi Jinping mengatakan akan memberikan bantuan tidak terbatas bagi Rusia. China memborong komoditas ekspor sumber daya alam dan energi Rusia. Walhasil, Rusia survive hingga sekarang. Kedua, posisi Putin di dalam negeri tetap tidak tergoyahkan, meskipun media Barat mengekspos cerita keluhan dan kemarahan warga Rusia yang terkena dampak sanksi ekonomi internasional. Levada Center bahkan merilis hasil survei yang mendemonstrasikan dukungan lebih dari 80% warga Rusia kepada Putin.

Kekhawatiran mulai menyeruak di Washinton. Jika Rusia terus dikucilkan dan dipojokkan, bukan tidak mungkin Moskwa malah tambah agresif meluaskan kegiatan militer ke seluruh wilayah Eropa Timur yang pernah didominasi Soviet. Ilmuwan politik terkemuka dan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Henry Kissinger pernah berujar kalau Rusia bukan Kuba apalagi Iran yang masih bisa dihadapi dengan embargo ekonomi. Rusia adalah aktor politik militer besar dan kuat dalam sejarah Eropa. Karena itulah, menurut Kissinger, memperlakukan Rusia selayaknya mitra setara akan jauh lebih menguntungkan daripada menjadikan musuh.

Jadi siapa yang bakal memimpin, demokrasi liberal atau kediktatoran, masih tidak jelas. Ironis, justru yang kian marak adalah populisme. Cas Mudde mendefinisikan populisme adalah “ideologi tipis/thin ideology” yang menempel pada ideologi mapan, khususnya fundamentalisme, sosialisme dan nasionalisme. Jan-Werner Muller menambahkan fitur antipluralisme sebagai karakter utama politisi populis. Para populis mengindentifikasi diri mereka sebagai pembela rakyat/people melawan elite global eksplotiatif dan imperialis. Retorika populis telah merebak ke berbagai kawasan di bawah pemimpin seperti Peter Orban Hongaria, Jair Bolsonaro Brazil, Recep Tayyip Erdogan Turki, Narendra Modi India, Rodrigo Duterte Filipina, Boris Johnson Inggris, dan presiden baru Korea Selatan Yoon Suk Yeol. Populis yang paling fenomenal tentu adalah Donald Trump.

Momen konflik Ukraina digunakan oleh populis untuk merapatkan barisan dan mendongkrak popularitas politik mereka. Trump menuding Pemerintahan Joseph Biden harus bertanggung jawab karena menyulut konflik Rusia-Ukraina. Bagi Trump, Amerika rugi dan sebaliknya China untung. Jargon “America first” bergema lagi. Celotehan Trump bukan tanpa makna. Reaksi spontan pro-populisme di Amerika cukup membuat gaduh. Sementara itu, di Eropa sentimen anti-China dan anti-Rusia meningkat di kalangan generasi muda yang stress karena kelesuan ekonomi. Dari Istanbul, Erdogan mengumandangkan selogan anti-Barat dan menyerukan globalisasi ‘antiZionisme’ jilid 2 melawan Yahudi. Populisme juga beresonansi ke Asia. Modi, Duterte, dan Yeol senada dalam mengecam ‘kartel’ yang ditengarai berada di balik kekisruhan dunia saat ini.

Terlepas dari kualitas argumentasi dan bobot dalil pembuktian kritisisme populis yang susah dicerna akal sehat, ide dan gaya berpolitik mereka amat mudah diterima khalayak. Untuk itu, tidak mengherankan bila di Tanah Air populisme chauvinistik kini merupakan diskursus normal. Implementasi bebas aktif gamang dan sarat kontradiksi. Katanya diplomasi pro-rakyat menjadi panduan hubungan luar negeri. Apapun yang dikerjakan melalui diplomasi harus berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat. Saat Konferensi Asia Afrika 2015, IMF dan Bank Dunia dikritik habis-habisan karena menciptakan kesenjangan ekonomi antara negara kaya dan miskin. Namun 2018 bangga jadi tuan rumah KTT IMF-Bank Dunia. Di awal begitu semangat dengan poros maritim. Tiba-tiba cita-cita nasionalis dan pro-rakyat itu hilang. Sekarang sibuk dengan presidensi ‘talk show’ G20 yang sulit dijelaskan apa manfaat riil untuk rakyat Indonesia. Di tengah ketidakstabilan geopolitik global akibat konflik Ukraina, Putin diundang hadir ke KTT G20, sebelumnya Ukraina didukung dalam Resolusi PBB mengutuk Rusia. Tidak ada penjelasan komprehensif mengapa beragam keputusan kebijakan luar negeri dibuat. Semua semata-mata dikaitkan dengan menjaga netralitas dan kepentingan bangsa.

Menjelang tahun politik 2023 dan pemilu 2024, politisasi isu internasional akan semakin intensif. Seperti 2014 dan 2019, populis memposisikan diri seolah sedang berjuang melawan elite korup berkonspirasi dengan asing untuk menghancurkan negara dan rakyat. Padahal kepentingan nasional yang konkret dan urgen tidak tersentuh. Bagaimana bisa demikian? Alih-alih grand strategy, peta jalankebijakan luar negeri saja tidak punya. Yang dimiliki cuma proyeksi pragmatis untuk memperoleh simpati publik. Itulah substansi populisme.

Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana

Sumber utama tulisan ini dapat dibaca dalam Wicaksana, I. Gede Wahyu. “Why does populism not make populist foreign policy? Indonesia under Jokowi.” Australian Journal of International Affairs (2022): 1-19. https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357718.2022.2071834