Universitas Airlangga Official Website

Eksplorasi Pengalaman dan Hambatan Tenaga Kesehatan dalam Mengungkapkan Insiden Keselamatan Pasien

Ilustrasi oleh MSU Today
Ilustrasi tenaga kesehatan (oleh: MSU Today)

Masalah keselamatan pasien terjadi di fasilitas kesehatan di seluruh dunia. Setiap tahun, terjadi 134 juta kejadian merugikan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan 2,6 juta pasien yang dirawat di rumah sakit meninggal. Menurut studi lain, 10% pasien di negara-negara berpenghasilan tinggi mengalami kerugian saat mencari perawatan di rumah sakit. Salah satu strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien adalah dengan melakukan keterbukaan dalam mengungkapkan insiden keselamatan pasien untuk membantu mencegah kejadian serupa di masa depan. Keterbukaan ini melibatkan percakapan terbuka antara pasien, keluarga, dan petugas kesehatan. Mengungkapkan insiden keselamatan pasien dapat mengurangi perselisihan hukum berikutnya dan biaya terkait, mengurangi hukuman bagi petugas kesehatan, dan meningkatkan etika pengobatan yang berpusat pada pasien.

Banyak negara telah menerapkan dan mewajibkan keterbukaan dalam mengungkapkan insiden keselamatan pasien, seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, Kanada, Australia, Inggris, dan Malaysia. Meskipun keterbukaan ini penting, masih sedikit yang diketahui tentang pengalaman dan hambatan keterbukaan dalam mengungkapkan insiden keselamatan pasien di Indonesia. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman petugas kesehatan dan menentukan hambatan yang dirasakan dalam mengungkapkan insiden keselamatan pasien di rumah sakit-rumah sakit Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Responden dipilih melalui purposive sampling dengan minimal satu tahun pengalaman di rumah sakit dan keterlibatan dalam mengungkapkan insiden keselamatan pasien. Dari 17 responden yang dihubungi, 5 mengundurkan diri karena alasan terkait rumah sakit, sehingga tersisa 12 tenaga kesehatan termasuk perawat, dokter, bidan, teknologi laboratorium medis, dan apoteker. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam via Zoom dalam bahasa Indonesia, masing-masing berlangsung 30-40 menit. Analisis tematik digunakan untuk mengidentifikasi dan melaporkan kesamaan dan perbedaan dalam temuan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 12 responden terdiri dari tujuh wanita dan lima pria, dengan mayoritas (75%) berusia antara 31 dan 40 tahun. Mayoritas responden berprofesi sebagai dokter sejumlah 5 orang (41,67%). Delapan responden (66,67%) bekerja di rumah sakit dengan tingkat akreditasi paripurna, dan tujuh responden (58,33%) bekerja di rumah sakit swasta. Analisis tematik menghasilkan empat kode utama terkait pengalaman mereka: praktik pengungkapan terbuka, jenis insiden, respons pasien dan keluarga, serta tindak lanjut rumah sakit. Selain itu, ditemukan empat hambatan: kekhawatiran dan ketakutan, kurangnya perlindungan, kurangnya kesadaran diri, dan pelatihan yang tidak memadai.

Temuan pertama studi menunjukkan bahwa pengungkapan terbuka jarang terjadi di rumah sakit Indonesia, di mana pendekatan hierarkis lebih dominan, dengan manajemen rumah sakit biasanya bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan insiden kepada pasien dan keluarga. Studi ini menyoroti insiden seperti suntikan yang salah, jatuhnya pasien, dan kesalahan pengobatan yang diungkapkan, menunjukkan pentingnya menangani berbagai tingkat insiden, dari near-miss kecil hingga kejadian yang merugikan. Tantangan signifikan dalam proses ini adalah komunikasi yang tepat dengan pasien dan keluarga mereka serta mengelola respons emosional mereka, yang sering kali termasuk kemarahan.

Temuan kedua mengidentifikasi beberapa hambatan untuk pengungkapan terbuka, termasuk perasaan khawatir dan takut, kurangnya dukungan dan perlindungan, kurangnya kesadaran tentang pengungkapan terbuka, dan pelatihan yang tidak memadai. Hambatan-hambatan ini mempersulit pelaksanaan praktik pengungkapan terbuka di rumah sakit Indonesia. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, seperti ukuran sampel yang kecil dan potensi bias dalam pemilihan peserta, yang mungkin mempengaruhi generalisasi temuan. Selain itu, terjemahan wawancara dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dapat menyebabkan beberapa pengalaman peserta hilang atau berubah. Penggunaan analisis tematik mungkin juga menyebabkan bias peneliti dalam analisis penelitian.

Pengungkapan terbuka dapat meningkatkan hubungan antara pasien dan penyedia layanan serta meningkatkan keselamatan pasien, sehingga sangat penting bagi organisasi kesehatan, pembuat kebijakan, dan institusi pendidikan untuk bekerja sama dan berkolaborasi untuk mempromosikan pengungkapan terbuka, melindungi pasien, dan mendidik profesional kesehatan, yang pada akhirnya membentuk sistem kesehatan yang lebih aman, transparan, dan berpusat pada pasien.

Artikel lengkap terdapat di https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/20479700.2024.2358709

Penulis: Inge Dhamanti, S.KM., M.Kes., M.PH., Ph.D.

baca juga: Sambut Mahasiswa Asing, UNAIR Gelar International Student Reception 2024