Universitas Airlangga Official Website

Epidemiologi Penyakit Kusta di Indonesia

Foto by Alodokter

Penyakit kusta atau leprosi merupakan penyakit infeksi yang menyerang kulit dan saraf, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae). Gejala utama penyakit kusta yaitu berkurangnya rasa raba dan dapat menyebabkan kecacatan pada tahap lanjut, Berdasarkan World Health Organization (WHO), penyakit kusta dibagi menjadi tipe pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). Tipe PB merupakan jenis penyakit kusta yang lebih ringan, ditandai oleh bercak putih atau kemerahan berjumlah 1 hingga 5 dan atau adanya 1 gangguan saraf, sedangkan tipe MB ditandai dengan jumlah bercak atau gangguan saraf lebih dari 5, bisa juga didapatkan benjolan, bercak meninggi, atau infiltrasi kulit. Terdapat 202.256 kasus kusta baru di 118 negara pada tahun 2019, sekitar 79% dari kasus kusta tersebut berasal dari negara India, Brazil, dan Indonesia.

Data yang didapatkan dari Unit Rawat Jalan (URJ) Kulit dan Kelamin di 13 RS Pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota penyumbang kasus kusta terbanyak dengan jumlah 396 penduduk (16,1%), sedangkan kasus kusta paling rendah didapatkan di kota Semarang dengan jumlah 54 kasus (2,2%). Sebagian besar kasus berusia lebih dari 14 tahun sebanyak 95,3% dan hanya didapatkan 4,7% kasus yang berusia di bawah 14 tahun. Ditemukannya kasus kusta pada anak-anak merupakan indikator adanya infeksi kusta di suatu komunitas yang berarti bahwa masih kurangnya survailans layanan kesehatan dasar dan rendahnya temuan kasus aktif penyakit kusta di masyarakat. Pasien pria mendominasi kasus kusta di Indonesia dengan perbandingan pria terhadap wanita yaitu 2 dibanding 1. Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena banyak faktor, seperti adanya perbedaan pada perilaku dan gaya hidup dimana pria lebih aktif beraktivitas di luar sehingga lebih rentan mengalami infeksi. Pria juga lebih cenderung untuk kurang menjaga kesehatan diri mereka.

Hasil penelitian yang dilakukan di Divisi Kusta URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2018 hingga 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 86,2% kasus kusta didominasi oleh kusta tipa MB, diikuti dengan tipe PB sejumlah 86,2%, indeterminate sebanyak 0,7%, Lucio 0,6%, histoid 0,2%, dan subklinis. Tipe kusta indeterminate merupakan tipe kusta stadium awal dengan gejala yang tidak terlalu terlihat dengan jelas, biasanya hanya berupa bercak putih hipopigmentasi dan sedikit gangguan pada saraf, serta dapat berubah menjadi tipe kusta lainnya. Tipe kusta indeterminate dapat menyebabkan penderita tidak menyadari penyakitnya, sehingga pasien tidak berobat ke dokter. Tipe kusta histioid merupakan tipe kusta yang jarang dengan jumlah bakteri yang lebih tinggi dibandingkan kusta lepromatosa, ditandai dengan adanya globi yang merupakan bakteri berbentuk basil yang berjajar. Kusta Lusio juga merupakan tipe kusta yang jarang dengan manifestasi utamanya yaitu infiltrasi pada kulit, sedangkan kusta sublinis merupakan pasien yang ditemukan bakteri M. leprae tanpa adanya gejala. Parameter pemeriksaan bakteri melalui metode hapusan darah dapat menggunakan pemeriksaan indeks bakteri (BI) dan indeks morfologi (MI) dengan menggunakan pengecatan Ziehl Nielsen.

Jenis reaksi kusta yang pali banyak ditemukan yaitu eritema nodosum leprosum (ENL) sebanyak 20,3%, diikuti dengan reaksi reversa (RR) sebanyak 13,3%, dan Lucio sebanyak 0,7%. Reksi kusta merupakan suatu fenomena yang dapat timbul sebelum, selama, atau setelah menyelesaikan terapi MDT. Kedua jenis reaksi kusta yang paling umum terjadi, yaitu ENL dan RR, berkembang secara terpisah, namun dapat terjadi pada pasien yang sama. Rekasi kusta RR biasanya terjadi pada tipe kusta BT, BB, BL, dan LL, sedangkan reaksi kusta tipe ENL biasanya terjadi pada kusta tipe LL. Selain kedua reaksi kusta yang umum tersebut, juga terdapat reaksi kusta yang berat berupa fenomena Lusio.

Kecacatan terbanyak didapatkan pada tangan (26,6%), diikuti dengan kaki (22,9%), dan mata (2,5%). Palembang dan Manado merupakan penyumbang kasus kecacatan pada tangan yang tertinggi, sedangkan Palembang merupakan penyumbang kecacatan pada tungkai yang terbesar, dan Manado merupakan penyumbang kecacatan pada mata yang terbesar. Sebagian besar kecacatan pada subyek penelitian ini merupakan kecacatan derajat 3. Derajat kecacatan tipe 1 mengindikasikan adanya sensasi normal tanpa adanya kecacatan yang terlihat. Derajat kecacatan tipe 2 berarti adanya kecacatan yang terlihat, seperti mata tidak bisa menutup sempurna (lagoftalmus), luka pada tangan, tangan atau kaki yang menekuk (claw hand atau claw foot), dan kelemahan pada pergelangan tangan atau kaki. Penting bagi klinisi untuk dapat melakukan pemeriksaan saraf setelah pemeriksaan pada kulit agar dapat mendeteksi adanya kecacatan pada pasien kusta. Data penelitian multisenter menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar pasien telah mendapatkan terapi MDT MB (multidrug therapy MB), namun masih terdapat sebagian kecil (2,1%) pasien yang tidak mendapatkan terapi, sehingga memerlukan tindak lanjut segera untuk mencegah terjadinya kecacatan yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.

Penulis : Prof.Dr.Cita Rosita Sigit Prakoeswa,dr.,Sp.KK(K)

Informasi lengkap dari artikel dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/32538

Epidemiology of Leprosy in Indonesia: A Retrospective Study

Cita Rosita Sigit Prakoeswa,Ramona Sari Lubis, Qaira Anum, Fifa Argentina, Sri Linuwih Menaldi, Hendra Gunawan, Renni Yuniati, Nur Rachmat Mulianto, Agnes Sri Siswati, Dhelya Widasmara, Luh Made Mas Rusyati, Enricco Hendra Mamuaja, Vitayani Muchtar, Regitta Indira Agusni, Bagus Haryo Kusumaputra, Medhi Denisa Alinda, Muhammad Yulianto Listiawan,