Universitas Airlangga Official Website

Evaluasi Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Kabupaten Probolinggo

Ilustrasi minum obat (foto: tribun)
Ilustrasi minum obat (foto: tribun)

Penggunaan obat-obatan yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil yang tidak diinginkan, seperti penurunan kualitas pengobatan. Hal ini, pada gilirannya, dapat mengakibatkan peningkatan angka kematian dan morbiditas, berkurangnya ketersediaan obat, serta peningkatan biaya medis.

Penggunaan Obat Rasional (POR) telah ada penerapannya di Puskesmas. Pada tahun 2017, 30.3 persen kabupaten/kota telah menerapkan POR di Puskesmas. Pada tahun 2019, jumlah ini meningkat menjadi 47,08 persen. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat menyebabkan munculnya resistensi antibiotika (AMR) dan pencapaian POR yang kurang optimal di Puskesmas. Berdasarkan laporan, tiga perempat dari semua penggunaan antibiotika terjadi di masyarakat, di mana praktisi perawatan primer bertanggung jawab untuk penggunaan antibiotika ini.

Infeksi akibat bakteri berdampak besar terhadap morbiditas dan mortalitas terkait kesehatan masyarakat. Terjadinya ancaman keselamatan terhadap pasien infeksi adalah akibat dari resistensi bakteri patogen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tahun 2019 melaporkan resistensi antimikroba akibat bakteri, jamur, parasit, dan virus, sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global dan menjadi penyebab kematian sedikitnya 1,27 juta orang di seluruh dunia.

Resistensi antibiotik ini juga berdampak pada terjadinya peningkatan biaya pengobatan, meningkatnya Length of Stay dan meningkatnya pemakaian antibotika. Berbagai pihak dapat memberikan kontribusi dalam upaya pencegahan dan pengendalian resistensi antibiotika melalui tindakan yang tepat, seperti penggunaan antibiotika yang bijak dan bertanggung jawab, meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan antibiotika, serta memastikan ketersediaan antimikroba yang aman, efektif, bermutu, dan terjangkau.

WHO pada 2015 merekomendasikan agar seluruh pelayanan kesehatan mulai menerapkan Antibiotic Stewardship Program (ASP) atau Penatagunaan Antibiotika. Di mana terbukti bahwa suatu intervensi ASP terbukti dapat mengurangi tingginya angka peresepan di pelayanan primer tersebut sampai dengan 30 persen. Ada beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap panduan praktik klinik. Intervensi ini dapat berupa komitmen, pelatihan/edukasi, tindakan untuk kebijakan dan implementasi.

Resistensi antimikroba terjadi ketika organisme seperti bakteri dan jamur mengembangkan kemampuan untuk melawan obat yang dirancang untuk membasmi mereka. Infeksi yang resisten dapat menjadi sulit, bahkan kadang-kadang tidak mungkin, untuk diobati.

Resistensi antimikroba atau berkurangnya daya kerja antimikroba dalam membunuh mikroba telah timbul tidak lama setelah antimikroba pertama ditemukan. Berdasarkan penelitian dan pengalaman yang terlaporkan di berbagai penjuru dunia, telah terbukti bahwa pada saat ini beberapa antimikroba sudah tidak efektif lagi dalam mengatasi beberapa penyakit infeksi. Padahal sebelumnya infeksi tersebut cepat dan mudah teratasi. Sementara masalah resistensi antimikroba semakin besar, upaya menemukan antimikroba baru justru menurun.

Suatu penelitian menjelaskan bahwa salah satu penyebab munculnya resistensi antibiotika akibat penggunaan antibiotika yang berlebihan (dosis, rute, indikasi dan lama penggunaan) dan tidak tepat yang akan memberikan kesempatan bagi bakteri untuk membentuk mekanisme pertahanan diri agar lolos dari serangan antibiotika.

Sebuah penelitian Rokayah, mahasiswa Program Studi S3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, dengan tujuan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan obat (POR) dengan menggunakan indikator yang menjadi ketetapan Kementerian Kesehatan RI di Puskesmas Kabupaten Probolinggo. Penelitian memberikan hasil bahwa persentase antibiotik untuk ISPA adalah 17.11 persen, memenuhi standar. Dari 33 Puskesmas, 67 persen memenuhi standar, sementara 33 persen tidak.

Sementara itu, antibiotik untuk diare non-spesifik adalah 9,58 persen, melebihi batas toleransi, dengan 55 persen Puskesmas memenuhi standar dan 45 persen tidak. Persentase obat suntik pada kasus myalgia adalah 0,43 persen sesuai standar, dengan 82 persen Puskesmas memenuhi standar dan 18 persen tidak. Kesimpulannya adalah bahwa penggunaan antibiotik untuk ISPA dan suntikan untuk mialgia memenuhi standar, tetapi penggunaan antibiotik untuk kasus diare non-spesifik tidak.

Penulis: Dr Yunita Nita SSi MPharm Apt

Informasi detail terkait artikel penelitian: https://pharmacyeducation.fip.org/pharmacyeducation/article/view/2849