Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona, suatu virus yang memicu sindroma pernafasan akut yang parah (SARS-CoV-2). COVID-19 hadir dengan spektrum kondisi klinis yang luas, mulai dari tanpa gejala hingga pneumonia berat yang dapat menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut. Coronavirus 2019 (COVID-19) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menimbulkan konsekuensi jangka panjang dan berdampak pada banyak sector, tidak hanya pada sector kesehatan. Beberapa metode diagnostik, tindakan pencegahan, dan perawatan telah diusulkan. Banyak faktor dapat mempengaruhi dan memperparah COVID-19, salah satunya adalah berat badan yang berlebih atau obesitas.
Obesitas merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah COVID-19. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien obesitas memiliki gejala yang lebih parah dibandingkan dengan kelompok normal dan kelebihan berat badan. Selain gejala pernapasan, pasien COVID-19 juga lebih rentan mengalami cedera hati selama perawatan. Sebuah studi yang dilakukan di China mengungkapkan bahwa 99 pasien COVID-19 yang dirawat di unit perawatan intensif mengalami peningkatan indikator fungsi hati seperti serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Studi lain menegaskan bahwa pasien obesitas atau kelebihan berat badan dengan COVID-19 mungkin mengalami cedera hati setelah manifestasi paru-paru.
Berdasarkan dari gambaran di atas, peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya di salah satu jurnal Internasional terkemuka, yaitu Bali Medical Journal. Peneliti menganalisis gambaran tentang karakteristik fungsi hati pada pasien COVID-19 dengan obesitas di RS Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia.
Hasil analisis menunjukkan bahwa 7 pasien obesitas dengan COVID-19, 6 di antaranya mengalami gejala parah. Saat masuk, nilai SGOT normal ditemukan pada 3 pasien dan meningkat pada 4 pasien, sedangkan nilai SGPT normal ditemukan pada 3 pasien dan meningkat pada 4 pasien. Peningkatan nilai SGOT ditemukan selama pengobatan pada 5 pasien, sedangkan nilai SGPT meningkat pada semua pasien. Semua pasien mengalami peningkatan penanda peradangan. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT saat masuk dan selama terapi menunjukkan bahwa obesitas pada pasien COVID-19 dapat membuat cedera hati lebih mungkin terjadi. Obesitas dapat menyebabkan pemulihan COVID-19 lebih sulit dengan menunjukkan gejala yang parah. Selain itu, penggunaan parasetamol dan lopinavir/ritonavir juga dapat berkontribusi dalam terjadinya kerusakan hati. Orang yang mengalami obesitas memiliki risiko lebih tinggi tertular infeksi seperti COVID-19 dan mengalami gejala yang lebih parah dibandingkan pasien yang tidak obesitas.
Meskipun demikian, terdapat beberapa beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini merupakan case series dengan 7 pasien. Kedua, coronavirus diketahui memasuki sel epitel saluran empedu melalui reseptor ACE2, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan hati, tetapi data mengenai ALP dan GGT tidak tersedia dalam penelitian ini. Ketiga, tidak ada data terkait pemeriksaan USG perut, sehingga pengaruh penyakit hati kronis dan perlemakan hati terhadap kelainan fungsi hati tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan.
Artikel dapat diakses: https://doi.org/10.15562/bmj.v11i3.3727
Penulis
Erwin Maulana Farmanda Putra
Ummi Maimunah