Universitas Airlangga Official Website

Kebijakan Publik dalam Mendorong Kesetaraan Gender: Peluang dan Tantangan

Ilustrasi kesetaraan gender (Foto: Kompas)
Ilustrasi kesetaraan gender (Foto: Kompas)

Kesetaraan gender merupakan hak asasi manusia mendasar yang berdampak signifikan terhadap kemajuan sosial, ekonomi, dan politik. Isu ini telah menjadi fokus utama dalam forum global seperti PBB dan Uni Eropa, dengan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Agenda tersebut menegaskan pentingnya kesetaraan gender sebagai kunci mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan lainnya. Seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesehatan.

Meskipun Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian internasional untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, implementasi kesetaraan gender di tingkat nasional masih terhambat oleh struktur sosial dan budaya patriarkis. Kebijakan afirmatif seperti kuota perempuan di lembaga perwakilan masih memiliki hambatan sistemik yang menghalangi partisipasi penuh perempuan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam ranah kebijakan publik, kesetaraan gender memegang peran penting. Sebab, kebijakan yang adil harus mempertimbangkan kebutuhan semua warga negara tanpa memandang jenis kelamin. Ketidakhadiran perspektif gender dapat mengakibatkan eksklusi dan memperburuk ketidakadilan sosial. Meskipun perjuangan perempuan di Indonesia telah berlangsung sejak era Kartini hingga gerakan modern seperti Kaukus Perempuan Parlemen, tantangan seperti keterbatasan akses kesehatan reproduksi dan diskriminasi upah masih menghambat kemajuan. Oleh karena itu, kebijakan publik yang inklusif dan responsif gender, serta partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan, menjadi esensial untuk mewujudkan kesetaraan gender yang substansial di berbagai bidang kehidupan.

Salah satu kendala utama dalam mencapai kesetaraan gender di Indonesia adalah bias gender yang mengakar dalam penyusunan kebijakan publik. Meskipun terdapat regulasi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan, perempuan masih menghadapi hambatan dalam mengakses posisi strategis. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa meskipun kuota 30% keterwakilan perempuan telah diterapkan, jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi legislatif tetap rendah. Hal tersebut merupakan akibat dari dominasi laki-laki dalam struktur partai politik dan pencalonan perempuan yang seringkali hanya bersifat formalitas.

Bias gender ini juga terlihat dalam kebijakan ekonomi yang gagal mengakomodasi kebutuhan perempuan. Seperti perlindungan bagi pekerja sektor informal yang mayoritas adalah perempuan. Minimnya representasi perempuan dalam pembuatan kebijakan semakin memperkuat ketimpangan ini, menyebabkan aspirasi dan kepentingan perempuan sering terpinggirkan atau diabaikan.

Norma sosial dan budaya patriarki yang dominan di Indonesia menjadi hambatan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender. Budaya ini menempatkan perempuan pada peran domestik, sementara partisipasi mereka di ruang publik. Seperti politik dan dunia kerja formal, sering dipandang tidak layak. Stereotip yang menggambarkan perempuan kurang kompeten dalam kepemimpinan menghambat perekrutan dan promosi mereka di sektor publik maupun swasta.

Hal ini juga memengaruhi kebijakan publik, yang kerap gagal mencerminkan kebutuhan perempuan atau kurang mendapat dukungan lokal, memperpanjang kesenjangan gender. Di sisi lain, stereotip tersebut juga turut mempengaruhi di berbagai sektor seperti sektor kesehatan dan sektor ketenagakerjaan. Dalam sektor kesehatan, akses perempuan terhadap layanan reproduksi terbatas, terutama di daerah terpencil, akibat minimnya infrastruktur, anggaran, dan stigma sosial. Sementara itu, di sektor ketenagakerjaan, diskriminasi berbasis gender masih terjadi, seperti upah lebih rendah dan hambatan promosi ke posisi manajerial. Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan menjamin hak perempuan, implementasinya sering tidak optimal, memperburuk ketimpangan gender dan menghambat partisipasi setara perempuan di dunia kerja dan sektor publik.

Kebijakan publik memainkan peran penting dalam mendorong kesetaraan gender. Di sektor ketenagakerjaan, regulasi seperti Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2003 menjamin hak-hak perempuan. Termasuk cuti melahirkan dan perlindungan dari diskriminasi, namun pelaksanaannya sering tidak optimal, terutama di sektor swasta.

Dalam pendidikan, kebijakan yang menyediakan akses setara bagi perempuan bertujuan mengikis stereotip gender dan meningkatkan partisipasi perempuan di berbagai bidang. Namun, dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut, terdapat tantangan yang perlu diperhatikan seperti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, minimnya sanksi tegas, serta dominasi norma sosial patriarki yang membatasi perempuan di ruang publik. Selain itu, keterbatasan anggaran dan sumber daya, serta kesenjangan antara kebijakan nasional dan implementasi daerah. Terutama di daerah terpencil, menghambat program pemberdayaan perempuan. Tanpa langkah strategis, kebijakan keadilan gender berisiko hanya menjadi wacana.

Dalam melihat pernyataan di atas, penulis memberikan berbagai pendekatan strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala kebijakan kesetaraan gender. Peran strategis tersebut meliputi penguatan pengawasan dan penegakan hukum, pemberdayaan perempuan di tingkat lokal, integrasi pendidikan gender, sinergi antar pemangku kepentingan, serta alokasi anggaran yang memadai. Di sisi lain, peran pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan evaluasi kebijakan. Sementara LSM dan organisasi perempuan berperan dalam memastikan pelaksanaan regulasi yang adil. Pemberdayaan perempuan melalui akses pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi, serta kampanye kesadaran publik, dapat mengurangi ketimpangan gender.

Pendidikan gender harus diintegrasikan ke dalam kurikulum untuk mengurai stereotip, sementara kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan LSM menjadi kunci dalam mendorong kebijakan inklusif. Selain itu, alokasi anggaran yang memadai untuk program pemberdayaan perempuan, layanan kesehatan responsif gender, dan pelatihan keterampilan di sektor ekonomi sangat penting untuk memastikan implementasi kebijakan yang efektif dan merata, termasuk di daerah terpencil. Tanpa dukungan finansial yang cukup, kebijakan kesetaraan gender berisiko hanya menjadi wacana tanpa dampak signifikan di lapangan.

Oleh: Abdul Hayyi (Mahasiswa Prodi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga)