Universitas Airlangga Official Website

Kolonialisme, Kerusakan Lingkungan, Kapitalisme, dan Ketergantungan di Nauru

Tulisan ini menjelaskan hubungan antara kolonialisme, kerusakan lingkungan, kapitalisme, dan ketergantungan di Nauru. Nauru adalah contoh ekstrem tentang warisan kolonialisme yang membawa dampak destruktif bagi masyarakat adat. Titik penting kasus Nauru adalah runtuhnya hubungan simbiosis antara manusia dan lingkungan. Penelitian tentang dampak kolonialisme dan perusakan ekologi yang membawa dampak destruktif terhadap masyarakat adat masih terbatas, khususnya dalam keilmuan hubungan internasional. Analisis Nauru merupakan mikrokosmos dari konflik antara kelestarian lingkungan dan ekonomi komersial. Nauru telah mengalami ketidakadilan lingkungan selama beberapa dekade dan berdampak panjang bagi pola makan dan krisis kesehatan. Penulis berpendapat, krisis nasional dan stagnasi ekonomi di Nauru saat ini adalah akibat dari sejarah kolonialisme yang kompleks dan kegagalan pemerintah pascakolonial untuk melepaskan diri dari ketergantungan yang secara struktural diciptakan oleh penguasa eks-kolonial.

Kerusakan lingkungan Nauru berkonsekuensi pada terjadinya obesitas yang menyebabkan tingkat kesehatan warga menurun. Angka harapan hidup masyarakat Nauru hanya 59 tahun untuk laki-laki dan 64 tahun untuk perempuan. Setelah bertahun-tahun dimanjakan dengan kekayaan alam yang melimpah, Nauru kini menjadi salah satu negara termiskin. Hal ini menjadi perhatian pemerintah Nauruan dan menjadi isu nasional, dan kisah ini telah menjadi perhatian internasional. Kemakmuran Nauru akhirnya hanya tinggal cerita lama yang tidak akan pernah terulang kembali. Kini, mereka adalah masyarakat yang hidup dengan kualitas hidup yang buruk. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup dan pola konsumsi makanan masyarakat Nauru yang berubah menjadi tidak sehat.

Pangan dan makan merupakan produk budaya yang menghasilkan budaya pangan tertentu dan secara umum mencerminkan budaya lokal. Akulturasi terjadi ketika budaya asing dapat mempengaruhi pola makan. Dalam perspektif pascakolonial, pola makan di banyak negara berubah setelah masyarakat di tempat tertentu mengalami interaksi dengan budaya “asing”, khususnya Barat. Perubahan pola makan mempunyai dampak terhadap kesehatan, baik positif maupun negatif. Modifikasi pola makan bertujuan untuk mengadopsi pola makan Barat pada tahap tertentu seiring dengan perubahan gaya hidup, besar atau kecil, pada kelompok masyarakat tertentu. Akulturasi pangan merupakan suatu bentuk penyesuaian pola makan dari budaya perkotaan atau perdesaan yang telah disesuaikan dengan lingkungan sekitar.

Dalam banyak kasus, akulturasi pola pangan terjadi ketika masyarakat mengadopsi pola makan “Barat”, yang cenderung tinggi lemak dan rendah buah-buahan dan sayur-sayuran. Akulturasi pola pangan bersifat multidimensi, dinamis, kompleks dan bervariasi tergantung pada masing-masing individu, karakteristik budaya, dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak negatif akulturasi pangan, penting untuk memahami proses dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Umumnya akulturasi pola pangan terjadi pada masyarakat pendatang dari masyarakat non-Barat yang memerlukan penyesuaian dengan lingkungannya. Akulturasi pola pangan merupakan suatu proses yang tidak menghilangkan pola pangan tradisional menuju pola pangan yang sama sekali berbeda. Dalam kasus Nauru, proses ini terjadi dalam dimensi yang ekstrim hingga menjadi isu nasional.

Nauru adalah contoh nyata dari hubungan perubahan iklim. Krisis ekologi dan penetrasi kapitalisme memicu perubahan gaya hidup, termasuk pola makan. Kerusakan lingkungan terjadi saat penambangan fosfat di Nauru dilakukan secara berlebihan oleh perusahaan asing. Hal ini telah memicu kekeringan dan kualitas tanah yang buruk. Perubahan iklim menyebabkan masyarakat adat Nauru tidak mempunyai akses menanam vegetasi di lahannya akibat berbagai gangguan alam dan berkurangnya kesuburan tanah. Kualitas lahan yang buruk mengakibatkan krisis pangan yang mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Nauru dari ‘tradisional’ menjadi ‘modern’ akibat (re)kolonisasi dan penetrasi kapitalisme. Juga, produk pangan impor berkualitas rendah telah menyebabkan berbagai masalah kesehatan, salah satu indikator krisis di Nauru.

Bagi sebagian besar masyarakat Pasifik Selatan, makanan memiliki fungsi ekonomi simbolis. Ketika orang-orang Eropa mulai berdatangan pada abad ke-17 dan ke-18, orang-orang di Pasifik digambarkan sebagai orang-orang yang kuat, berotot, dan sebagian besar dalam keadaan sehat. Bagi masyarakat setempat, makanan mempunyai fungsi simbolik dan ekonomi. Dengan kata lain, semakin signifikan dan vital tubuh seseorang melambangkan kondisi sosial ekonomi yang baik. Semakin banyak mereka dapat memberi makan keluarga mereka, semakin baik status sosial mereka. Kepercayaan ini bersimbiosis dengan masuknya bangsa Eropa yang membawa kebiasaan baru dalam pola makannya. Menurut penelitian, obesitas semakin meningkat setelah kedatangan orang Eropa ke Nauru dan negara-negara Oseania lainnya. Mereka datang dengan pola makan yang memperkuat kepercayaan tradisional Nauru tentang hubungan paralel antara status fisik dan sosial. Hilangnya makanan tradisional sebagai penyuplai kebutuhan asupan sehari-hari tergantikan dengan masuknya berbagai produk impor yang mendominasi sebagian besar negara Oceania.

 Selain itu, gaya hidup mewah masyarakat Nauru juga mempercepat kebangkrutan negara tersebut. Rendahnya kebiasaan menabung dan menyukai pesta dan perayaan hampir tidak menyisakan material untuk mendukung masa depan berkelanjutan. Menipisnya sumber daya alam ditambah dengan gaya hidup mewah menyebabkan mereka menjual aset dan kepemilikan mereka, termasuk hak penggunaan satelit, paspor, izin perbankan, dan perusahaan perikanan, ke Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan. Untuk mendapatkan uang, Nauru mengambil tindakan kontroversial dengan menyewakan tanahnya kepada Australia, yang membutuhkan perlindungan bagi pencari suaka yang datang ke Australia. Perjanjian ini dikenal sebagai ‘Solusi Pasifik’. Beberapa masalah keuangan Nauru dapat diselesaikan untuk sementara dengan menyewakan lahan tersebut ke Australia. Namun, hal ini bukanlah strategi yang berkelanjutan.

 Krisis ekonomi adalah masalah besar lainnya yang menyebabkan Nauru cenderung mengalami krisis keuangan. Australia merasa berkewajiban untuk ‘membantu’ Nauru sebagai bekas kekuatan kolonial. Dengan memberikan bantuan luar negeri dalam jumlah besar, Australia telah menjadi donor yang signifikan bagi Nauru, dan dengan demikian, Australia mengendalikan Nauru. Melalui kontrol penuh ini, Australia juga memaksakan terciptanya kepatuhan politik Nauru terhadap Australia. Selain itu, terdapat peningkatan hibah bantuan luar negeri Australia untuk memastikan Nauru tidak melepaskan diri dari perjanjian Solusi Pasifik, yang mencerminkan kegagalan Australia dalam bernegosiasi dengan negara-negara Pasifik Selatan lainnya.

Meskipun berlebihan untuk mengatakan bahwa Nauru adalah negara yang gagal, namun tidak dapat disangkal bahwa Nauru terjebak dalam situasi ‘kutukan sumber daya’. Penghancuran bertahap seluruh bagian dalam pulau ini mempunyai dampak jangka pendek dan jangka panjang. Masyarakat Nauru sendirilah yang harus mengatasi kerusakan yang terjadi. Pelajaran yang bisa diambil adalah malnutrisi dan obesitas terjadi secara berdampingan, akibat kolonialisme dan kapitalisme, yang merupakan sebuah bencana bagi penduduk asli Nauru.

Penulis: Baiq Wardhani

Link artikel: http://ajis.fisip.unand.ac.id/index.php/ajis/article/view/535/192