Universitas Airlangga Official Website

Kombinasi Bahan Alami Atasi Kerusakan Lapisan Otak Akibat Trauma Kepala

Ilustrasi oleh Owlcation
Ilustrasi oleh Owlcation

Cedera kepala atau trauma kepala adalah kelainan pada struktur kepala akibat benturan yang berpotensi menimbulkan gangguan fungsi otak. Cedera kepala penyebab utama kematian dan kecacatan pada usia produktif. Bentuk cedera kepala dapat berupa benjolan, memar ringan, hingga cedera otak yang traumatis. Penyebab dari cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, terjatuh, pukulan atau trauma tumpul pada kepala dan benturan pada kepala yang sangat hebat, di mana sampai saat ini penyebab utama cedera kepala berat adalah kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 90% kecelakaan lalu lintas dengan cedera kepala banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Namun masih banyak faktor lain yang turut berkontribusi, seperti kecelakaan kerja, saat berolahraga, kecelakaan karena terjatuh benda tumpul, atau kecelakaan karena sering terjatuh atau terbentur benda keras. Trauma chapattis merupakan cedera pada kepala yang menyebabkan kerusakan pada bagian kulit kepala, tulang tengkorak, dan otak itu sendiri.

Penyebab utama trauma chapattis atau cedera kepala yang terdiri dari kecelakaan lalu lintas (kecelakaan bermotor), jatuh, kecelakaan industri, benturan benda tumpul/tajam, penyerangan, dan yang berhubungan dengan olah raga. Cedera kepala juga dapat terjadi karena kepala terkena benturan benda bergerak, tenaga ini dapat terjadi seketika atau mengikuti kerusakan otak akibat kompresi, goresan, atau tekanan

Pengobatan cedera kepala harus disesuaikan dengan tingkat keparahan yang dialami penderita cedera. Secara umum langkah yang diambil tenaga medis dalam menangani kasus ini adalah dengan pemberian obat obatan seperti pereda nyeri, antikejang, penenang, hingga perbaikan fungsi otak. Kemudian penderita dapat diberikan terapi atau rehabilitasi untuk memperbaiki dan mengembalikan kondisi fisik dan fungsi saraf. Selanjutnya tindakan dilakukan adalah melakukan operasi, dimana jenis dan tujuan operasi disesuaikan dengan kondisi dan masalah yang terjadi akibat cedera kepala.

Tindakan operasi atau pembedahan biasa dilakukan dikarenakan pendarahan di otak, patah tulang tengkorak, hingga terdapat benda asing dalam kepala. Dalam menangani kasus yang disebabkan oleh cedera kepala, diperlukan tindakan pembedahan pada tengkorak atau dekompresi kraniotomi. Namun tidak semua tindakan operasi berjalan sesuai harapan, dalam beberapa kasusu masih saja terjadi kebocoran cairan serebrospinal atau yang disebut dengan kebocoran cairan serebrospinal (CSF leak) akibat sayatan pada bagian lapisan otak khususnya duramater.

Lapisan otak duramater merupakan salah satu bagian penting dalam kepala untuk melindungi otak. Selain itu duramater berfungsi menahan cairan serebrospinal yang berfungsi menjadi bantalan untuk melindungi sistem saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang, dari benturan secara tiba-tiba atau cedera. Jika lapisan duramater ini rusak maka diperlukan lapisan otak pengganti atau duramater atifisial.

Penelitian yang diusung oleh Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes., S.Bio., Drs. Adri Supardi, M.Si., dan Annisaa Wahyu Alifiany, S.T. bertujuan untuk mengetahui komposit lapisan duramater kepala artifisial yang kompatibel bagi tubuh. Selulosa bakteri dipilih sebagai bahan polimer alam pada karena mempunyai sifat biodegradable dan mempunyai kekuatan mekanik yang menyerupai lapisan duramter asli. Selulosa bakteri mempunyai kandungan air yang cukup tinggi, tidak menimbulkan alergi, dan kisaran pori selulosa bakteri yaitu 1µm-22µm sehingga dapat menyerupai pori-pori duramater.

Gliserol juga digunakan sebagai bahan pemlastis (plasticizer) yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan regangan selulosa bakteri sehingga tidak mudah robek, baik saat proses jahit saat pembedahan maupun setelahnya. Selain itu digunakan bahan kolagen karena dapat membantu mempercepat proliferasi sel di sekitar membran duramater sehingga lapisan alami dapat tumbuh dan membuat duramater artifisial menyerupai aslinya. Untuk menjawab tujuan penelitian dilakukan beberapa pengujian FTIR (Fouier Transform Infrared Spectrometer), kekuatan tarik, uji sitotoksisitas, hingga swelling.

Pengujian FTIR atau gugus fungsi menunjukkan adanya gugus fungsi selulosa bakteri, kolagen, dan gliserol. Hasil pengujian kekuatan tarik menunjukkan bahwa dari sampel duramater artifisial mempunyai rata-rata nilai UTS (Ultimate Tensile Strength) dan Elongasi yang mendekati nilai standar duramater buatan. Hasil pada uji swelling atau uji pengembangan diperoleh nilai pengembangan sebesar 28,30%. dimana hasil ini tidak melebihi batas rasio pembengkakan membran sebesar 70%.

Untuk uji MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) atau uji sitotoksisitas menunjukkan persentase sel hidup dari sampel duramater artifisial diatas 50% yang berarti bahan yang dihasilkan tidak beracun saat diaplikasikan ke tubuh. Hasil pengujian ini menunjukkan komposit selulosa Bakteri – Kolagen – gliserol mempuanya potensi besar menjadi lapisan duramater artifisial.

Penulis: Prihartini Widiyanti

artikel: https://doi.org/10.1063/5.0193674