Universitas Airlangga Official Website

Kuliah Tamu FIB Ungkap Pengenalan Sejarah melalui Simbol

Peserta kuliah tamu bersama narsumber (Foto: Istimewa)
Peserta kuliah tamu bersama narsumber (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) adakan kuliah tamu bertema “Exploring History, Culture, Language, and Literature to Estabilish Urban Sustainability: Evidence from Malaysia and Indonesia”. Pihak FIB menghadirkan narasumber dari Universiti Malaysia Sabah yaitu, Dr Kavitha Ganesan dengan memaparkan materi simbol dan sejarah. Acara berlangsung di Ruang Siti Parwati lantai 2, FIB, Kampus Dharmawangsa-B UNAIR pada Jumat (3/5/2024).

Dr Kavitha menyampaikan materi berjudul “Mengenali sejarah tempatan: Buaya/Buayeh dalam Budaya Masyarakat Lundayeh”. Materi itu merupakan hasil penelitiannya yang berfokus pada asal muasal simbol atau adat yang ada dalam suatu wilayah. Objek dalam pemaparannya adalah simbol buaya di lingkungan masyarakat Lundayeh. 

Lundayeh merupakan kumpulan orang-orang dari Suku Dayak, asal Kalimantan. Lundayeh sendiri telah tersebar di berbagai daerah, seperti daerah Sabah, Sipitang, Sarawak, dan lain-lain. “Namun yang unik dan menarik adalah adat maupun simbol-simbol yang masih kuat menyertai masyarakat tersebut, salah satunya simbol buaya. Di sisi lain, masyarakat kini yang masih memegang adat dan simbol buaya tersebut tidak mengetahui makna maupun asal muasal sejarahnya,” ujarnya.

Simbol buaya sejatinya bermakna sebagai penjaga, sebab keberadaannya yang terdapat di semua jenis perairan di Borneo. “Pada masa Malaysia belum mengalami penjajahan oleh Inggris, mereka berpegang pada kepercayaan tanda-tanda alam melalui hewan. Sama halnya dengan rusa warna putih yang melambangkan kematian, begitu juga dengan simbol buaya bagi masyarakat Lundayeh,” terang Dr Kavitha.

Lebih lanjut, Dr Kavitha mengatakan bahwa buaya begitu identik dengan adat Nui Ulung. Adat ini berisi prosesi headhunting, yaitu pemenggalan kepala oleh orang-orang Lundayeh sebelum Inggris menjajah. Hal ini sebagai tanda penghormatan atas kemenangan. Namun, seiring berjalannya waktu, juga akibat pengaruh jajahan Inggris, adat tersebut tidak lagi berlaku.

“Pelarangan tersebut, tidak semata-mata menghilangkan identitas buaya dalam masyarakat Lundayeh sebab simbol ini masih digunakan jelas di tempat tertentu. Seperti rumah persatuan yang memberikan patung Buaya di sekitarnya,” ungkapnya.

Tak hanya itu, nasi buaya juga kerap dihidangkan dalam waktu-waktu tertentu. Seperti, perkawinan, perayaan menyambut tamu, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan nilai makna buaya yang menjadi kepercayaan masyarakat Lundayeh. Seperti tanda kepahlawanan, penghormatan, keberanian, adaptasi, hingga perekonomian tak dapat hilang maupun terpisahkan. Meski telah terjadi penjajahan yang menghapuskan adat headhunting

Melihat bahwa adat dan budaya memiliki nilai bermakna, Dr Kavitha pada akhir mengingatkan agar para peserta yang hadir terus memegang adat dan budaya yang ada di suatu wilayah. “Sejatinya semua yang terjadi, baik adat hingga kepercayaan itu memiliki asal muasal yang mengandung nilai dan makna yang mereka junjung. Meski terkadang orang-orang yang melakukannya hanya mengerti bahwa hal tersebut merupakan kebiasaan tanpa tahu tujuan atau asal mula atas apa yang dilakukannya,” tutup Kavitha.

Penulis: Annisa Nabila

Editor: Yulia Rohmawati