Epilepsi berasal dari bahasa yunani yakni epilambanmein yang berarti serangan. Penamaan tersebut terjadi oleh karena dahulu epilepsi dianggap karena serangan dari roh jahat pada sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan penanganan epilepsi. Hipokrates merupakan orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai penyakit yang didasari oleh gangguan pada otak. Epilepsi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kejang berulang akibat gangguan pelepasan muatan listrik di neuron otak yang timbul tanpa adanya pencetus. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai macam penyebab yang menimbulkan kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan.
Kejang pada epilepsi merupakan manifestasi klinis dari hiperaktifitas listrik oleh sekelompok sel saraf di otak. Penatalaksanaan epilepsi secara umum meliputi tatalaksana fase akut saat kejang dan pemberian obat anti-epilepsi sebagai dosis rumatan. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, obat anti-epilepsi tetap diberikan kecuali ditemukan efek samping berat maupun efek toksik obat. Pengelolaan epilepsi pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat dengan mengakhiri kejang sesegera mungkin. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi anak, karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan utama epilepsi adalah dengan obat anti-epilepsi (OAE), bertujuan untuk mengontrol bangkitan epilepsi. Di Indonesia telah beredar berbagai jenis OAE, baik first line (pilihan pertama) maupun second line (pilihan kedua). OAE lini pertama adalah karbamazepin, asam valproat, fenobarbital, dan fenitoin. Asam valproat adalah salah satu AED yang ada sering diberikan kepada anak-anak. Laporan kasus kami bertujuan untuk mengevaluasi dampak pemberian asam valproat pada epilepsi dengan keterlambatan bicara. Seorang anak perempuan berusia 3 tahun dirujuk ke RSUD Dr Soetomo dengan epilepsi dan keterlambatan bicara. Pasien mengalami kekambuhan kejang sejak usia 2 tahun dan mendapat pengobatan asam valproat di rumah sakit sebelumnya dan bebas kejang selama 5 bulan sebelum dirujuk.
Anak dapat berbicara hanya satu kata, seperti makan atau minum, tidak ada riwayat perinatal atau penyakit serius sebelumnya, juga tidak ada riwayat keluarga yang menderita kejang dan keterlambatan bicara. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan Denver II didapatkan kegagalan pada aspek bicara dan Bahasa. Tes pendengarannya normal. Asam valproat kemudian diganti dengan fenitoin. Setelah 7 bulan penggantian asam valproat, anak sudah bisa merangkai kata dan berbicara dalam kalimat. Kesimpulan: Pemberian asam valproat pada pasien epilepsi dapat memicu keterlambatan bicara pada anak.
Penulis: Prof. Dr Irwanto,dr SpA(K)
Disarikan dari artikel dengan judul: “Administering Valproic acid in epilepsy and
speech delay in children” yang diterbitkan di Bali Medical Journal 2023; 12(3): 2601-3. Link: https://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/4669/2984