Prevalensi sirosis hati di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 122.6 juta kasus, dan menyebabkan 1.32 juta kematian di tahun 2017. Semakin meningkatnya populasi sirosis hati menunjukkan kemajuan terapi dan usia harapan hidup, namun pada sisi lain meningkatkan keperluan operasi pada kelompok ini. Di Indonesia, data dari sepuluh pusat pelayanan kesehatan mencatat lebih dari 1500 pasien sirosis hati selama tahun 2020, sekitar 30% sudah mengalami hipertensi portal. Pasien dengan sirosis kompensata mempunyai risiko kematian 5 kali lebih besar dari populasi normal. Di Amerika Serikat dari tahun 1998 – 2005 terdapat 22569 kasus pembedahan dengan sirosis (0.8% dari pembedahan tanpa sirosis), 4214 kasus dengan komplikasi hipertensi portal. Prosedur pembedahan thorak-kardiovaskular mempunyai risiko kematian paling tinggi daripada pembedahan lainnya.
Berdasarkan dari gambaran di atas, peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan artikel laporan kasus di salah satu jurnal Internasional terkemuka, yaitu International Journal of Surgery Case Reports. Peneliti menyajikan kasus manajemen perioperatif pasien pericarditis konstriktif dengan komplikasi sirosis kardiak yang akan menjalani pembedahan perikardiektomi.
Seorang pasien laki-laki usia 50 tahun, konsultasi Bedah Thoraks Kardiovaskular dengan perikarditis konstriktif rencana operasi jantung terbuka, trombositopenia, dan splenomegali. Pasien mengeluh mudah lelah dan sesak jika berjalan >100 meter sejak tahun 2008, tidur dengan 2 bantal, keluhan mata kuning, urin pekat seperti teh, perut membesar, muntah darah, atau melena disangkal. Pasien ada riwayat pengobatan TB paru 30 tahun yang lalu, tuntas dan sudah sembuh. Riwayat masuk RS berulang karena sesak dan telah terdiagnosis sebagai gagal jantung, namun jarang kontrol jika sudah membaik. Pasien sudah mengetahui perikarditis konstriktif dengan bukti CT kardiak menunjukkan kalsifikasi di pericardium sejak tahun 2017, namun pasien saat itu menolak operasi.
Tanda vital secara umum normal, kami mendapatkan reflek hepatojugular (+) dan limpa membesar hanya schuffner 1, tidak ada kelainan fisik lain. Abnormalitas pada laboratorium rutin yaitu trombosit 121000 /ml, albumin 3.41 mg/dl, bilirubin total 1.4 mg/dl, dan INR 1.4, marker hepatitis B dan C negatif. CT kardiak menunjukkan kalsifikasi di pericardium dan atrioventricular groove, tidak adapenyumbatan pada arteri koroner. USG abdomen menunjukkan kongesti liver splenomegaly, dan efusi pleura minimal. Endoskopi menunjukkan gastropati hipertensi portal ringan, tanpa varises esofagus. Fibroscan menunjukkan LSM 52.7 kPa, sesuai dengan gambaran fibrosis berat (F4), CAP 239dB/m (S0), dan SSM 61.6 kPa. Echokardiografi menunjukkan LVH eksentrik (EF 48%), difungsi fungsi diastolik ventrikel kiri derajat 1, gagal jantung kanan, dan estimasi RAP 10 mmHg.
Pasien kami diagnosis sebagai sirosis kardiak CTP class A (score 6), MELD 12 dan gastropati hipertensi portal ringan. Manajemen perioperatif pada pasien ini terbagi menjadi pre-operasi, saat operasi, dan paska operasi. Manajemen pre-operasi yaitu dengan menilai beratnya penyakit liver melalui skor CTP atau MELD, kemudian mencocokkan dengan skor maksimal untuk kebutuhan operasi jantung. Pada pasien ini skor CTP <8 dan MELD <13.5, sehingga pembedahan bisa dilakukan dengan risiko mortalitas sedang (3.9%). Kemudian perbaikan kondisi pasien dengan saran diet tinggi kalori dan protein, rendah garam, berhenti merokok dan minum alkohol, skrining endoskopi sebelum operasi. Kelainan trombositopenia dan pemanjangan INR tidak kami koreksi, karena target trombosit pada operasi ini cukup >50000/ml dan tidak ada perdarahan aktif. Hipertensi portal ringan bukan kontraindikasi operasi, dan tidak memerlukan terapi khusus.
Manajemen saat operasi dan paska operasi, kami lakukan multidisiplin dengan pengawasan ketat fungsi liver dan jantung. Menghindari obat-obatan hepatotoksik dan menjaga status cairan seimbang. Prosedur pembedahan pilihan adalah radikal perikardiektomi, yaitu eksisi perikardium sebanyak mungkin, pada pelaksanaanya, sering melalui sternotomi media. Cardiopulmonary bypass (CPB) tidak terlaksana secara rutin mengingat pembedahan seluruhnya ada pada luar jantung. Tidak ada keluhan dari pasien paska operasi, tidak ada terapi khusus di bidang hepatologi, dan bisa pulang 5 hari paska operasi. Pasien masih bertahan hidup 2 tahun setelah operasi, namun menolak evaluasi liver paska operasi karena merasa tidak ada keluhan.
Pasien dengan sirosis hati mempunyai risiko tinggi perdarahan dan mortalitas operasi, akibat kelainan dasar livernya. Seorang dokter penyakit dalam berperan besar saat pre-operasi melakukan evaluasi, prognosis hasil operasi, koreksi kelainan liver, dan terapi penyakit dasar. Kerjasama multidisiplin dan persiapan operasi yang baik, sangat penting untuk mengoptimalkan hasil operasi, mencegah morbiditas, dan mortalitas. Prognosis paska operasi pasien ini baik.
Penulis: Ummi Maimunah, dr.,Sp.PD.K-GEH.FINASIM
Akses lengkap artikel ada pada link berikut: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2210261224006242?via%3Dihub
Baca juga: Studi Eksperimental Pada Oryctolagus Cuniculus (Kelinci)