Universitas Airlangga Official Website

Menelisik Perubahan Sistem Pemilu Indonesia dan Thailand

Menelisik Perubahan Sistem Pemilu Indonesia dan Thailand
Ilustrasi proses pemungutan suara pemilu (sumber: liputan6)

Rekayasa pemilu di sebuah negara memiliki pengaruh penting dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis, atau justru menuju pada pemerintahan yang otoriter. Dalam berbagai kajian literatur menunjukkan bahwa sedikit saja rekayasa pada sistem pemilu, mampu mengubah pihak mana yang berpotensi mendapatkan kekuasaan dominan. Sebagai contohnya, apabila besaran daerah pemilihan diperkecil dari 3 sampai 10 kursi menjadi 3 sampai 6 kursi per daerah pemilihan, maka potensi kemenangan partai kecil akan menurun drastis yang mengakibatkan partai besar saja yang akan masuk ke dalam parlemen. Selain itu, adanya penerapan ambang batas secara signifikan berpengaruh dalam menghambat atau mempromosikan partai kecil dalam memenangkan kursi pada kontestasi pemilu.

Melihat urgensi perubahan sistem pemilu pada sebuah pemerintahan, sudah seyogyanya dipertanyakan ke mana arah perubahan yang ingin dituju. Apakah perubahan tersebut ditujukan untuk kepentingan rakyat, atau untuk kepentingan pihak tertentu. Indonesia dan Thailand, keduanya merupakan negara kawasan Asia Tenggara yang banyak mengalami reformasi sistem pemilu sepanjang periode 2000 hingga 2023. Hal ini menumbuhkan pertanyaan terkait ke mana arah sistem pemilu yang dikehendaki dan apakah perubahan tersebut menghasilkan sistem pemilu yang lebih baik dari sebelumnya.

Dalam studi kasus yang saya lakukan bersama tim dan berkolaborasi dengan peneliti dari Prince of Songkla University, difokuskan pada evaluasi reformasi sistem pemilu di kedua negara yaitu Indonesia dan Thailand sepanjang tahun 2000 hingga 2023. Studi kasus ini ditujukan untuk menyoroti dimensi penting dari perubahan pemilu dan konsekuensinya terhadap disproporsionalitas dan jumlah partai yang efektif.

Pada tahap pertama, studi kami mengidentifikasi perubahan pemilu di kedua negara dan tujuan ideal reformasi pemilu yang hendak dicapai. Kedua, kami membandingkan hasil setiap pemilu dengan menghitung nilai indeks disproporsionalitas dan jumlah partai efektif. Ketiga, kami melakukan wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan utama mencakup ketua KPU berbagai periode, NGO yang bergerak di bidang pemilu, anggota EMB Thailand,  serta  expertise pemilu baik di Indonesia maupun di Thailand. Hasil wawancara digunakan untuk mengungkap evaluasi dari arah perubahan yang terjadi selama periode 2000 hingga 2023 dan sekaligus memberi rekomendasi untuk masa depan sistem pemilu yang lebih baik.

Analisis tersebut telah mengungkap motivasi pemerintah di balik sistem pemilu yang dipilih. Di Indonesia, reformasi yang ditujukan untuk mewujudkan sistem kepartaian pluralisme terbatas menimbulkan perdebatan sengit di kalangan partai-partai kecil dan menengah terutama mengenai upaya mempertahankan kursi mereka di parlemen. Sedangkan, pemerintah Thailand terlihat mengakomodasi partai-partai kecil dengan menghapuskan ambang batas pemilihan. Kami mengidentifikasi bahwa terdapat perbedaan tujuan ideal di Indonesia dengan Thailand, dimana pemerintah Indonesia menghendaki pemerintahan yang efektif dengan multipartai sederhana, sedangkan di Thailand justru sebaliknya. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh penguasa dominan pada masing-masing negara.

Meskipun tujuan ideal perubahan sistem pemilu berbeda, kami melihat adanya kemiripan motivasi dari kedua negara. Penelitian ini berkontribusi untuk mengembangkan pemahaman bahwa motivasi elit melebihi kepentingan publik dalam merancang reformasi pemilu. Jika di Thailand kendali untuk menentukan sistem pemilu mana yang dipilih nampaknya lebih disentralisasi oleh junta militer, peralihan sistem pemilu di Indonesia sangat dilatarbelakangi oleh aktor politik demi mendapatkan kepentingan pragmatisnya.

Penelitian ini menyoroti bahwa reformasi pemilu di Indonesia dan Thailand muncul seiring dengan kemunculan sistem baru, khususnya pada awal tahun 2000. Sebagai perbandingan, Thailand lebih mengalami gejolak dalam perjalanan demokrasi akibat hadirnya kudeta junta militer pada periode tersebut. Perpolitikan di Indonesia lebih didominasi oleh tawar-menawar yang alot antar partai demi tujuan pragmatis seperti memaksimalkan kursi di partainya. Selain itu, kedua negara memiliki tren indeks disproporsional yang berfluktuasi dan relatif rendah. Di sisi lain, reformasi pemilu berdampak pada tingginya kesenjangan antara jumlah partai aktual dan jumlah partai efektif. Thailand memiliku kelemahan dengan banyaknya partai yang bergabung di parlemen, sehingga tidak cukup untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. Jumlah partai yang terlalu banyak ini justru melemahkan partai besar sehingga junta militer bisa membentuk koalisi gemuk dengan menghimpun partai kecil untuk mengendalikan partai besar di pemerintahan. Di sisi lain, reformasi pemilu di Indonesia menunjukkan upaya keras untuk menghasilkan multipartai sederhana dengan menerapkan ambang batas parlemen dan memperketat persyaratan partisipasi partai dalam pemilu.

Penulis: Kalimah Wasis Lestari, S.IP.,M.Sc. 2

Link: https://doi.org/10.1177/20578911241263617

Baca juga: Peran Media Sosial sebagai Strategi Koping Ibu Migran Indonesia