Ada beberapa lokus di kota Surabaya yang merujuk pada dokter Soetomo, yaitu nama jalan, rumah sakit, dan universitas, yang disematkan belakangan untuk mengenang tokoh bangsa. Sementara itu, ada satu bangunan gedung sebagai peninggalan dari hasil kerja keras dokter Soetomo bersama masyarakat Surabaya. yakni Gedung Nasional Indonesia di Jalan Bubutan yang kini dikelola oleh pemerintah kota Surabaya. Siapakah sesungguhnya dokter Soetomo dan bagaimana kiprahnya memprakarsai pembangunan gedung pusat pergerakan di Surabaya?
Soetomo dikenal sebagai tokoh nasional pemrakarsa organisasi Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 bersama Wahidin Soedirohoesodo dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Setiap tahun diingat kembali pada saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Kontribusi Soetomo tidak hanya dikenal sebagai pemrakarsa kebangkitan, tetapi juga tokoh yang mengintegrasikan perbedaan politik, ideologi, dan agama. Selain itu, dia berupaya menemukan solusi praktis atas permasalahan kehidupan sehari-hari ketika bermukim di Surabaya pada tahun 1923-1938.
Soetomo lahir di desa Ngepeh regenschap Nganjuk pada Minggu Legi 30 Juli 1888 dengan nama asli Soebroto. Soetomo dipanggil Al-Khaliq pada 30 Mei 1938. Berdasarkan memoar (kenang-kenangan yang ditulis Soetomo tahun 1934), diceritakan bahwa ibunya ditandu selama dua hari menjelang kelahirannya dari desa Pelem, wilayah administratif regenschap Blora dan residentie Bojonegoro, menuju desa Ngepeh, Nganjuk. Kakek-nenek mengasuhnya hingga usia 6 tahun, kemudian Soebroto diasuh oleh Raden Soewadji (ayah kandung diangkat menjadi wedana di Madiun). Berpindah pengasuhan dan masa memasuki sekolah ditulis di memoar:
“Bersamaan dengan kepindahan ayah saya dari Bojonegoro ke daerah Madiun, maka datanglah sudah waktu saya harus bersekolah. Karena itulah saya lalu dimintalah oleh orangtua saya, lalu dimasukkan sekolah di Madiun sesudah bertempat di Delopo buat sementara waktu.” (Frederick dan Soeroto 1982, 157)
Soebroto masuk sekolah dasar non-Eropa ketika sekolah pertama di Madiun. Dia pindah ke Bangil, diasuh oleh bibi (kakaknya ibu). Soebroto didaftarkan pertama kali ke sekolah Eropa, tetapi pendaftaran ini ditolak karena bukan anak kandung. Pendaftaran dilakukan lagi pada hari berikutnya. Soebroto dibawa ke sekolah dan didaku (diakui) sebagai anak kandung bernama Soetomo. Dengan cara ini Soebroto diterima di sekolah Eropa, tetapi namanya berubah menjadi Soetomo.
Soetomo masuk pendidikan tinggi ditempuh di STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsh Artsen) pada usia 16 tahun. Pada saat masih menempuh pendidikan, Raden Soewadji sebagai tulang punggung keluarga dan sumber biaya pendidikan meninggal dunia tahun 1907. Peristiwa ini menjadi titik balik perenungan dan pandangan hidup yang mengubah sikap dan tanggungjawab diri, sosial, dan politik. Pada tahun 1911, Soetomo lulus diploma kedokteran pribumi (het diploma Inlandsch arts). Sejak saat itu, sebagian besar waktunya digunakan berkarir praktik medis dalam pelayanan kesehatan di Semarang, Batavia, Baturaja, Lubuk Pakam, dan Blora hingga tahun 1919.
Setelah praktek medis selama 8 tahun, Soetomo memperoleh kesempatan belajar memperdalam ilmu spesialis penyakit kulit di Amsterdam mulai tahun 1919 hingga 1923. Pendalaman fundamental ketika menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging) pada periode 1921-1922. Pengalaman berkecimpung di organisasi ini memperkaya pandangan Soetomo karena arus organisasi mengalami transisi ideologis mengarah pada politik progresif menuntut kemerdekaan Indonesia.
Kontribusi di Kota Surabaya
Sepulang dari Belanda, bermukim menetap di Kota Surabaya dan mengemban tugas medis sebagai dokter sekaligus mengajar di NIAS (Nederlaandsch Indisch Artsen School), yang kini menjadi fakultas kedokteran universitas Airlangga. Pengalaman menjadi bagian organisasi Perhimpunan Indonesia di Belanda turut memperkaya pemikirannya. Untuk meregenerasi masyarakat dan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat tidak hanya bertumpu dan mengandalkan generasi tua para bangsawan, tetapi generasi baru para intelektual yang harus tampil. Hal ini yang menyemangatkan Soetomo untuk menyatukan para intelektual dengan mendirikan perkumpulan intelektual (Intellectueelenbond).
Perkumpulan intelektual (Intellectueelenbond) dibentuk pada Desember 1923. Siapapun orang yang merasa terpelajar diminta dan dimotivasi bertindak membangun bangsa dengan cara bergabung ke Intellectueelenbond. Meskipun demikian, perkumpulan ini cenderung eksklusif sehingga banyak orang yang tidak berani menampilkan diri sebagai kaum intelektual. Kemudian, nama Intellectueelenbond diubah menjadi Indonesische Studieclub pada 11 Juli 1924. Perubahan ini menunjukkan karakter institusi inklusif, terbuka, dan pencerminan karakteristik umum ke-Indonesia-an.
Pembentukan Indonesische Studieclub merupakan organisasi pertama lintas ideologi dan aliran politik. Tujuan Indonesische Studieclub, antara lain mengenalkan dan mempropagandakan persatuan nasional, menumbuhkan kesadaran masyarakat pribumi, mempromosikan pembangunan masyarakat baik secara material maupun spiritual, dan membentuk ikatan intelektual. Sejak berubah nama, Indonesische Studieclub semakin populer di kalangan kaum terpelajar pribumi yang memicu terbentuknya kelompok-kelompok serupa di Solo, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Bogor.
Setelah Indonesische Studieclub berkiprah 6 tahun (1924-1930), muncul gagasan perluasan gerakan. Langkah awal adalah mengubah nama yang berkonsekuensi pada perubahan dasar organisasi dan nama organisasi menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) berdasarkan hasil keputusan rapat pada 16 Oktober 1930. Lima tahun kemudian, PBI dilebur dengan Budi Utomo (dan juga Serikat Celebes, Serikat Sumatra, Serikat Ambon) pada saat konferensi di Solo menjadi nama Partai Indonesia Raya disingkat Parindra (“Boedi Oetomo en PBI” 1935). Fase ini mengakhiri pergerakan yang bersifat kedaerahan ke pergerakan nasionalisme kebangsaan.
Artefak peninggalan Soetomo yang dapat disaksikan adalah Gedung Nasional Indonesia yang dibangun dalam situasi krisis ekonomi tahun 1930. Peletakan batu pertama fondasi pada 11 Juli 1930 (bertepatan dengan lahirnya Indonesische Studieclub). Secara realistis prasarana, tenaga, dan dana pembangunan gedung tidak cukup. Hal ini bukan hambatan karena adanya kenekadan, yang dimaknai sebagai niat kuat, kemauan keras, bulat hati dan pikiran, dan tindakan yang ditujukan untuk pencapaian keinginan.
Dari mana dan bagaimana cara pemenuhan kekurangan tersebut, sementara itu gemeente (pemenrintah kota) tidak terlibat. Kekurangan ditutup dengan kenekadan yang ditopang spirit gotong royong. Gotong royong mencakup tenaga, material, dan dana, yang dihimpun melalui berbagai strategi.
Oleh Samidi M. Baskoro
Jurnal: Gotong Royong Bersama Dokter Soetomo Membangun Gedung Nasional Indonesia dan Kesadaran Kebangsaan 1924—1938