Wabah COVID-19 memberi ancaman serius bagi institusi keuangan global. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka membatasi ruang gerak sosial telah menyebabkan guncangan terburuk pada sektor keuangan khususnya dalam beberapa dekade terakhir. Efek negatif COVID-19 pada sektor keuangan terbukti menjadi tantangan serius bagi keberlangsungan industri perbankan syariah. Hal ini kemudian mengarah pada suatu pertanyaan besar, bagaimana posisi dan manajemen risiko bank syariah pada saat pandemi serta upaya konsisten mereka dalam menjalankan kewajiban sosial yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian yang berfokus pada penyampaian informasi terkini mengenai tata kelola dan manajemen risiko perbankan syariah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi duration gap yang merupakan bagian penting dari manajemen risiko pada bank syariah selama krisis COVID-19 menggunakan pendekatan studi focus group online. Studi ini melibatkan 12 responden utama yang merupakan pakar dan praktisi perbankan syariah dari berbagai negara meliputi Indonesia, Malaysia, Pakistan dan Uni Emirat Arab.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pandemi COVID-19 telah meningkatkan duration gap bank syariah. Kesenjangan yang semakin melebar ini diantaranya disebabkan oleh, pertama, kurangnya peluang usaha selama masa pandemi. Hal ini tidak hanya memukul kemampuan peminjam dalam memenuhi kewajiban melunasi pembiayaannya, tetapi juga mendorong pemegang rekening untuk menarik dana mereka dari bank syariah yang berimbas pada peningkatan durasi aset dan pengurangan durasi kewajiban, sehingga meningkatkan duration gap dan menambah eksposur risiko perbankan syariah. Kedua, langkah-langkah dari bank sentral untuk merelaksasi suku bunga serta menawarkan restrukturisasi dan rescheduling pembayaran, terbukti tidak hanya meningkatkan duration gap tetapi juga menciptakan masalah likuiditas yang serius. Ketiga, banyak perusahaan mampu menghasilkan keuntungan selama epidemi, tetapi mereka memanfaatkan peluang untuk restrukturisasi dan rescheduling, hal ini kemudian berdampak pada melebarnya kesenjangan.
Lebih lanjut, krisis pandemi ini mendorong para nasabah lembaga keuangan Islam untuk mengatur pengeluaran mereka, sesuai dengan teori permintaan uang klasik dan hierarki kebutuhan Maslow. Pertama, krisis COVID-19 berdampak pada ketiga motif permintaan uang, yaitu motif transaksi, berjaga-jaga, dan spekulatif. Kekhawatiran masyarakat akan tingginya ketidakpastian pasar menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk menyimpan uang dalam bentuk tunai, yang berdampak pada peningkatan permintaan uang untuk transaksi. Dalam hal ini, masyarakat lebih suka memegang kas. Lebih dari itu, motif berjaga-jaga terpengaruh karena masyarakat semakin sadar akan bahaya infeksi virus COVID-19 dan dampak krisis ekonomi yang diakibatkannya sehingga meningkatkan permintaan akan kas. Terakhir, permintaan spekulatif didorong oleh perubahan tingkat kebijakan dan perilaku konsumsi masyarakat, yaitu preferensi mereka untuk memegang uang tunai karena dua motif permintaan uang sebelumnya. Kedua, selama krisis COVID-19, semua sumber daya yang tersedia diarahkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis demi menjaga keberlangsungan hidup.
Ditulis oleh: Bayu Arie Fianto
Artikel lengkap dari penelitian ini dapat diakses melalui link berikut: https://doi.org/10.1504/IJBPM.2022.126226