Universitas Airlangga Official Website

Pascasarjana UNAIR Ulas Fenomena No Viral No Justice di Indonesia

Helena Oktaviane SH MH selaku pembicara saat memaparkan materi (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (UNAIR) kembali menggelar kuliah umum kepemimpinan pada Sabtu (04/11/2023). Kegiatan itu berlangsung di Ruang Majapahit Lantai 5, Gedung ASEEC Tower, Kampus Dharmawangsa-B UNAIR.

Fenomena No Viral No Justice di Indonesia

Asisten Bidang Pengawasan Kejaksaan Tinggi Provinsi Jambi, Helena Oktaviane SH MH mengatakan bahwa fenomena No Viral No Justice jika dilihat dari segi motif merupakan bentuk simpati dan kepedulian yang muncul karena ketidakadilan yang ada di depan layar kaca. Dari segi peluang, ini adalah potensi ruang digital untuk membentuk pergerakan kolektif yang besar. Adapun dari segi hasil, ini akan membukakan jalan bagi masyarakat untuk turut andil dalam menegakkan keadilan dengan cara yang praktis.

Masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang viral cenderung lebih cepat selesai dari pada  kasus yang dimulai dengan laporan biasa (terutama kasus-kasus yang mengusik hati nurani masyarakat). “Masyarakat berpikir bahwa semua harus diviralkan agar bisa diusut,” ujar perempuan yang berprofesi sebagai Jaksa ini. 

Menurutnya, fenomena itu sebenarnya bukan sebuah hal negatif jika didasarkan atas kepedulian. Justru fenomena itu juga bisa menjadi dorongan bagi lembaga atau instansi yang bersangkutan.

Hanya saja No Viral No Justice adalah akibat dari tanpa adanya perencanaan tentang bagaimana membentuk ekspansi pergerakan. “Kalau mendapatkan berita yang viral, masyarakat langsung menyebarkan tanpa mengecek kebenarannya,” tuturnya.

Hal ini terjadi karena masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang diviralkan cenderung akan lebih cepat selesai dibandingkan kasus yang dimulai dengan laporan biasa.

Dampak Fenomena No Viral No Justice pada Penegakan Hukum 

Fenomena dalam ruang digital yang berujung menjadi No Viral No Justice juga memberikan pressure terhadap lembaga atau instansi. Dampak fenomena No Viral No Justice itu berujung pada diskriminasi dalam penegakan hukum (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007). 

“No Viral No Justice menjadikan proses penegakan hukum tebang pilih antara viral dengan tidak viral,” ungkap Helena. 

Pada dasarnya, fenomena itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, fenomena itu tidak menjamin dan tidak memberikan perlindungan hukum atas tersebar luasnya informasi, bahkan aib, seseorang meski dari sumber yang tidak jelas (melanggar Pasal 40 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi). 

Selain itu, hal ini juga tidak menjamin dan tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum (due process of law) “Penegakan hukum kini dihakimi dengan slogan no viral, no justice, Saat peristiwa viral, publik tak peduli lagi dengan kebenaran,” tutur alumni FISIP UI ini.

Menyikapi No Viral No Justice dengan cara No Viral No Education

Karena itu, diperlukan adanya gerakan untuk mengubah fenomena “No Viral No Justice” menjadi sistematik dengan mengubah bentuk simpati yang dihasilkan oleh penggiringan opini menjadi sebuah kesadaran kolektif dengan argumen “No Viral No Education”.

No Viral No Education merupakan penemuan hukum sebagai bentuk adanya pergeseran budaya hukum agar masyarakat dan netizen tidak lagi menggunakan No Viral No Justice. “Masyarakat harus bisa menjadikan sosial media tidak hanya sebagai sarana viral tapi juga edukasi,” ungkapnya. 

Kedepannya diharapkan perkembangan teknologi bukan lagi sekadar memudahkan, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat mencerdaskan masyarakat. “Bukan no viral no justice, tapi no viral no education. Jadi dengan viral harusnya dapat mengedukasi masyarakat,” ujar mahasiswa S3 UNAIR itu. 

Penulis: Lady Khairunnisa Adiyani

Editor: Khefti Al Mawalia