Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kebencanaan paling tinggi di dunia (Djalante et al., 2017), dengan risiko berbagai bencana yang berbeda setiap tahunnya (Djalante & Garschagen, 2017). Berdasarkan World Risk Report 2018, Indonesia menempati urutan ke-36 dengan indeks risiko 10,36 dari 172 negara paling rawan bencana alam (Winanto, 2021). Kerentanan Indonesia meningkat dengan posisinya di dalam Ring of Fire (Siagian et al., 2014), dan di perbatasan tiga lempeng tektonik (Bock et al., 2003). Kota Palu adalah sebuah kota di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia yang terletak di kawasan sesar Palu Koro (Patria & Putra, 2020), yang selalu aktif bergerak sehingga menimbulkan tumbukan di bumi (Imam Abdullah & Abdullah, 2020). Bencana yang terjadi pada sore hari tanggal 28 September 2018 itu meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Palu yang sampai pulih belum mampu mengembalikan masyarakat ke kehidupan sehari-hari (Syamsidik et al., 2019). Tsunami mengikuti gempa dengan magnitudo 7,4 (Natawidjaja et al., 2020), dan Itulikuifaksi yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018, tidak hanya merenggut 4.340 jiwa, namun bencana alam tersebut juga menimbulkan kerugian materil hingga Rp. 18,48 triliun (Goda et al., 2019). Bencana alam ini telah membuat banyak orang di Palu menderita kerugian, kerusakan, kehilangan benda yang menyebabkan pengungsian dan kehilangan tempat tinggal, serta kerusakan rumah dan fasilitas umum (BNPB, 2018). Rusaknya sendi-sendi kehidupan akibat bencana alam dapat menyebabkan hak dasar korban bencana terancam (Sena, 2006). Kebutuhan dasar seperti air bersih dan makanan, akses ke obat-obatan, dan akses bantuan yang setara adalah beberapa kebutuhan yang sering dibutuhkan oleh korban bencana alam (Pourhosseini et al., 2015). Efek dahsyat dari bencana alam meningkatkan ketidaksetaraan dalam kehidupan para korban di masyarakat (Rivera et al., 2022).
Negara berkewajiban menjaga, melindungi, dan mensejahterakan rakyatnya (Sefriani, 2020). Sebagai bentuk hubungan hukum, pemenuhan hak rakyat atas keamanan dan kesejahteraan merupakan kewajiban hukum negara yang dapat dipenuhi oleh masyarakat (Martitah, 2017). Hukum hak asasi manusia memperkuat konsep ini dengan mengelaborasi hak apa saja yang dapat diklaim oleh warga negara terhadap negaranya sendiri (Broberg & Sano, 2018). Oleh karena itu, pendekatan berbasis hak asasi manusia adalah tentang memberdayakan masyarakat untuk mengetahui dan mengklaim hak mereka dan meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas individu dan lembaga yang bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak (Cornwall & Nyamu-Musembi, 2004). Ketika bencana besar terjadi dengan banyak korban yang membutuhkan bantuan, undang-undang, peraturan dan regulasi adalah hal pertama yang umumnya dipikirkan Hukum (Civaner et al., 2017), hukum dan peraturan sering dianggap sebagai hal yang berkaitan dengan efektivitas penanggulangan bencana ( Iskandar et al., 2018). Namun, tidak adanya penanganan penanganan seringkali menyebabkan kontribusi dan tanggapan menjadi tidak terkoordinasi, tidak tepat dan mubazir. Akibatnya, korban bencana tidak mendapatkan bantuan yang tepat waktu, tepat sasaran, dan praktis. Apa yang terjadi dalam penanggulangan bencana di Palu, Sulawesi Tengah bisa menjadi contoh. Pada 25 Oktober 2018, hampir 1 bulan pasca bencana, Menko Polhukam menyatakan masih banyak barang bantuan baik dari dalam maupun luar negeri yang menumpuk di Bandara Halim Perdana Kusuma (Jakarta), Bandara Sepinggan (Balikpapan) dan Bandara Mutiara. (Palu), sementara di sisi lain masih banyak korban bencana yang belum mendapatkan bantuan yang layak.
Masalah yang menantang adalah bagaimana menerapkan aturan dalam konteks operasional (Aven, 2016). Tulisan ini akan mengeksplorasi isu perlindungan HAM dalam mitigasi bencana alam dalam regulasi Indonesia, dengan fokus pada urgensi operasionalisasi perlindungan HAM dalam mitigasi bencana; dan epistemologi perlindungan HAM terkait mitigasi bencana di Indonesia.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum dengan pendekatan sociolegal yang menggali permasalahan lama terkait bencana dalam konteks hukum internasional dan kegagalan pemerintah dalam menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Sebelum Undang-Undang ini diundangkan, terdapat kewenangan pada beberapa kementerian dan lembaga yang tidak secara langsung berada di bawah kewenangan/tugas pokok dan fungsi BNPB, dan apabila terjadi bencana alam akan mengalami kesulitan dalam koordinasi dan menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaannya. implementasi, dan ketidakefektifan. dalam penanggulangan bencana. Dalam implementasinya, UU No. 24 Tahun 2007 ternyata mengandung beberapa kelemahan terkait proses penanggulangan bencana, antara lain belum adanya peraturan turunan dari undang-undang penanggulangan bencana, belum optimalnya dukungan anggaran bencana, lambatnya mekanisme proses dana penanggulangan bencana, lambatnya upaya mitigasi dan tanggap darurat. Kebencanaan, dan lemahnya koordinasi antar instansi terkait. Penetapan status dan tingkat bencana ini perlu segera diatur, mengingat ketidakpastian ini menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya, seperti yang terjadi pada bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu ketika Pemerintah Pusat tidak segera menetapkan status sebagai bencana. bencana nasional.
Sebaliknya, Gubernur Sulawesi Tengah tidak segera menyatakannya sebagai bencana daerah. Artikel08 Tahun 2008 tentang: Badan Nasional Penanggulangan Bencana tidak memuat ketentuan rinci tentang bagaimana koordinasi dilakukan, sehingga masih terdapat kekosongan regulasi yang berpotensi menimbulkan permasalahan pelaksanaan di lapangan, seperti: (1) koordinasi antar instansi seringkali berbenturan dengan masalah birokrasi maupun regulasi, karena tidak adanya penegasan mengenai struktur komando dalam penanganan situasi tanggap darurat; (2) peran kritis TNI belum dimasukkan sebagai bagian vital dalam penanggulangan bencana dan hubungan dengan BNPB, padahal peran TNI sangat dominan begitu pula dengan Badan SAR dan lembaga lainnya; (3) belum diaturnya peran LSM asing atau LSM lokal dan lembaga kerelawanan lainnya, mengingat dalam praktik penanggulangan bencana masih kurang sinergi antara LSM atau lembaga swadaya masyarakat dalam penanggulangan bencana dengan BNPB; dan (4) belum diaturnya pelaporan penerimaan dan penggunaan sumbangan/bantuan yang dikoordinasikan oleh pihak non pemerintah, sehingga pemerintah kewalahan untuk memantau apakah sumbangan/bantuan tersebut telah mencapai sasarannya. Melaporkan penerimaan dan pemanfaatan bantuan bencana kepada masyarakat tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu strategi RENAS PB 2015-2019 yang juga menjadi fokus prioritasnya adalah (1) Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana, (2) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan, (3) Peningkatan kemitraan multipihak dalam penanggulangan bencana penanggulangan bencana, (4) Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana, (5) peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana, (6) peningkatan kapasitas pemulihan bencana, (7) peningkatan tata kelola di bidang penanggulangan bencana. Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana juga diarahkan pada penyusunan regulasi teknis yang fokus pada (a) alokasi anggaran penanggulangan bencana di pusat dan daerah, (b) peningkatan efektivitas sistem kedaruratan dan kesiapsiagaan nasional, (c ) membangun kemitraan dan (d) menetapkan status kebencanaan disertai dengan (e) mekanisme pengawasan terpadu lintas sektor dan lembaga baik di pusat maupun di daerah.
Penulis: Aktieva Tri Tjitrawati
Jurnal: Affliction in the post Palu disaster: State failure to implement human rights standard on disaster management