Rendahnya derajat kesehatan tersebut tidak diimbangi dengan kemudahan akses kesehatannya, mengingat belum tercakupnya distribusi kesejahteraan dan kesehatan warga negara asing oleh negara setempat (Duque, 2020), sedangkan di sisi lain, wilayah teritorial negara yurisdiksi membatasi kewenangan negara untuk mendistribusikan kesejahteraan sosial dan kesehatan bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri. Penelitian sebelumnya menemukan berbagai kasus yang menggambarkan dan mengkonfirmasi jaminan sosial kesehatan yang tidak terlindungi bagi WNI yang bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri (Tjitrawati, 2017). Realitas obyektif ini secara filosofis, teoritis, yuridis, dan praktis menimbulkan masalah. Secara filosofis, beberapa masalah bersinggungan dengan “keadilan sosial” yang merupakan salah satu nilai dan cita-cita bangsa Indonesia. Ironisnya, negara yang berlandaskan nilai dan cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum memberikan akses fasilitas perlindungan asuransi kesehatan sosial bagi warga negaranya yang bekerja sebagai tenaga kerja yang bekerja di luar negeri sedangkan untuk warga negara asing. diberikan akses terhadap fasilitas perlindungan jaminan sosial kesehatan yang lebih pasti karena didukung oleh perangkat regulasi, organisasi, dan manajemen yang berlangsung sejak efektifnya BPJS kesehatan.
Negara adalah representasi dari nilai dan bahkan kebaikan itu sendiri. Nilai harus selalu hadir dalam suatu negara, yang dihadirkan melalui kekuatan yang melekat pada dirinya. Misalkan realita menunjukkan adanya berbagai kasus tidak tersedianya akses fasilitas perlindungan jaminan sosial kesehatan bagi TKI di luar negeri. Artinya, Negara belum “hadir” memaknai keberadaannya untuk menghasilkan kebaikan. Bahkan dari spektrum konstitusional, hal ini terbaca sebagai pengabaian kewajiban konstitusional terhadap warga negaranya. Secara yuridis, meskipun telah dilakukan pemutakhiran pengaturan perlindungan jaminan sosial kesehatan bagi tenaga kerja, antara lain melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, perlindungan jaminan sosial kesehatan yang membahasTenaga kerja Indonesia di luar negeri belum tersedia. Norma BMI belum menyentuh perlindungan kesehatan dan jaminan sosial karena subjek hukum ini memiliki karakteristik yuridis yang unik. Pola perundang-undangan terkait jaminan sosial (kesehatan) yang seharusnya bersifat antardepartemen dan saling melengkapi, belum terkelola secara maksimal, mendekati ideal. Hal ini pada akhirnya menunjukkan tidak hanya terciptanya keharmonisan yang gagal dan kegagalan untuk menyelaraskan, bahkan ketidakmampuan untuk membentuk pola Peraturan yang lebih integral menciptakan kekosongan hukum, peraturan untuk akses perlindungan kesehatan dan jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Sebagai konsekuensi dari permasalahan filosofis, teoretis, dan yuridis yang diuraikan di atas, berdampak pada persoalan praktis. Apa yang terhampar dalam realitas objektif disebabkan oleh tidak terkelolanya rangkaian masalah-masalah sebelumnya secara memadai.
Rentetan isu-isu yang tidak tunggal sebagaimana dipaparkan di atas disarikan secara elaboratif dalam narasi berikut. Dengan ditetapkannya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan yang terkandung dalam Dasar Negara Pancasila, maka sudah sewajarnya aspek kesehatan juga menjadi bagian penting dari sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang bekerja di luar negeri. Jika mengacu pada Deklarasi dan Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jelas bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi (Ardinata, 2020). Namun sayangnya, sistem perlindungan kesehatan yang ada saat ini masih minim sampai batas wilayah negara, sehingga ketika seorang warga negara bermigrasi ke luar wilayah negara, perlindungan kesehatan warga negara tersebut oleh negara seolah terhenti. Hal inilah yang menjadi ciri khas dan kekhasan PMI sehingga pada tataran praktik, penyusunan peraturan perundang-undangan menimbulkan kesulitan dalam merumuskan norma-norma perlindungan kesehatan dan jaminan sosial.
Melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), Negara berupaya mengatur dan menjamin kesejahteraan sosial masyarakat melalui (Yuditia et al., 2021):
- Jaminan Sosial, Kesehatan
- Jaminan Sosial, Pensiun dan Tabungan Hari Tua,
- Jaminan Sosial, Kecelakaan Kerja,
- Jaminan Sosial, Kematian Sementara,
melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), sistem jaminan sosial Nasional dibagi menjadi dua sub sistem jaminan sosial (Arimbi, 2020), yaitu jaminan ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh dua badan , BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan sistem jaminan kesehatan (Asyrofi & Ariutama, 2019), sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Jaminan Sosial Pensiun dan Jaminan Hari Tua, Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Sosial Kematian (Johansyah, 2022). Pelaksanaan sistem jaminan sosial seperti ini secara normatif dan konseptual tidak menimbulkan masalah, meskipun timbul masalah dalam pelaksanaannya. Kelemahan inilah yang menyebabkan masalah pemisahan jaminan kesehatan dari sistem JAMSOSTEK, sebagai lembaga yang sebelumnya menyelenggarakan jaminan sosial ketenagakerjaan. Masalah normatif dan konseptual baru muncul ketika sistem ini diterapkan dalam implementasi jaminan kesehatan bagi PMI.
Penelitian ini menggunakan metodologi literature review dengan memaparkan apa yang telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dengan pendekatan hukum normatif yaitu penelitian kepustakaan, studi dokumen, atau penelitian hukum dokumenter, sumber diperoleh melalui bahan hukum primer yaitu melalui peraturan perundang-undangan
Pola perundang-undangan dalam sistem jaminan sosial nasional tidak cukup untuk melindungi PMI. Dari aspek substansi, pembahasan normatif dengan konsep teknis spesifik terkait keberadaan perlindungan TKI masih kosong. Dari aspek struktur hukum, kelembagaan jaminan sosial nasional yang diwujudkan dalam bentuk badan penyelenggara jaminan sosial dengan pola dua jalur yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, dalam pelaksanaannya tidak adaptif dan secara signifikan melindungi hak konstitusional PMI. Alamat norma dengan konsep teknis khusus untuk melindungi PMI hanya terdapat pada peraturan perundang-undangan sektoral di bidang ketenagakerjaan, khususnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Indonesia. Jaminan perlindungan dalam Permenaker tersebut masih terbatas pada PMI pada tahap prapenempatan dan pascapenempatan. Pada fase penyebaran, tidak ada jaminan perlindungan terhadap PMI. Jika dicermati lebih dalam, perlindungan jaminan sosial bagi PMI hanya terbatas pada jaminan sosial ketenagakerjaan dan tidak mencakup jaminan sosial kesehatan. Pada titik ini, terlihat jelas bahwa perlindungan PMI belum terintegrasi dalam sistem jaminan sosial nasional. Dengan memberikan jaminan sosial, BPJS Kesehatan harus berinisiatif melindungi hak konstitusional PMI. Hal itu bisa dilakukan dengan merumuskan gagasan untuk mendorong perumusan norma teknis khusus bagi PMI karena sifatnya yang unik. PMI berbeda dengan peserta BPJS Kesehatan lainnya. Untuk melindungi hak konstitusional PMI, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan harus melibatkan Kementerian Luar Negeri karena pada praktiknya perlindungan dan pemenuhan jaminan hak PMI sulit dilakukan terhadap PMI. Mereka tidak prosedural.
Penulis: Aktieva Tri Tjitrawati
Jurnal: Integrative Social-Health Security For Indonesian Migrant Workers: Does Fully Covered And Protected?