Universitas Airlangga Official Website

Pengalaman dan Persepsi Kader Kesehatan terhadap Gangguan Jiwa

Ilustrasi pasien gangguan jiwa (oleh Hello sehat)

Kader kesehatan merupakan elemen penting dalam keberhasilan layanan kesehatan di masyarakat dan berperan sebagai dengan penyedia layanan kesehatan formal (Asweto dkk., 2016; Kane dkk., 2020). Kader dapat memberikan berbagai bentuk layanan seperti memberikan informasi layanan kesehatan, layanan pencegahan, dan perawatan dasar kepada masyarakat (Asweto et al., 2016; LeBan et al., 2021). Salah satu ruang lingkup kerja dari kader adalah layanan kesehatan jiwa masyarakat, sehingga sangat penting untuk mengetahui apakah kader kesehatan telah memiliki persepsi yang tepat terkait kesehatan dan gangguan jiwa. Pengalaman dan persepsi kader terhadap gangguan jiwa sangat penting untuk menyesuaikan intervensi, mengurangi stigma, meningkatkan akses terhadap layanan, dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan jiwa.

Kajian penelitian telah dilakukan di tiga kota di Indonesia, yaitu Banda Aceh, Surabaya dan Yogyakarta terhadap 487 kader kesehatan yang meliputi kader kesehatan jiwa, kader penyakit tidak menular, kader posyandu, dan kader kesehatan lain. Hasil penelitian menjelaskan persepsi kader kesehatan terhadap gangguan jiwa. Kader kesehatan menyatakan bahwa mendapatkan banyak keuntungan selama menjalankan tugas, yaitu meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat, memperkuat hubungan dengan staf puskesmas, meningkatkan kepercayaan diri dan meningkatkan kemampuan dalam mengenal tanda-tanda gangguan jiwa.

Gangguan Jiwa

Keterlibatan kader kesehatan dilakukan secara sukarela ternyata tidak hanya membantu untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat namun juga mendorong pertumbuhan kemampuan kader itu sendiri. Kemampuan komunikasi yang efektif merupakan landasan dalam pemberian layanan kesehatan ke masyarakat, kader kesehatan tidak hanya berkontribusi dalam penyampaian informasi kesehatan namun juga mengembangkan kemampuan interpersonal. Kader juga merasakan bahwa mereka menganggap sesama kader dan petugas kesehatan masyarakat sebagai bagian dari keluarga mereka. Anggapan positif tersebut menumbuhkan motivasi yang kuat untuk terus bertahan menjadi kader kesehatan, meskipun secara ekonomi mereka tidak rutin mendapatkan gaji atau honor dan lebih bersifat sukarela. 

Hasil penelitian juga menunjukkan persepsi kader terhadap pasien gangguan jiwa dan kesehatan jiwa yang sangat positif. Hampir seluruh kader percaya bahwa masyarakat harus memperlakukan individu yang mengalami gangguan jiwa dengan baik. Bahkan berpendapat bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk merawat mereka. Pemerintah harus mengambil peran aktif dalam menangani pasien gangguan jiwa (Pope et al., 2018; Putri et al., 2021). Persepsi ini menunjukkan bahwa kader kesehatan sebagai anggota masyarakat telah memiliki inisiatif yang sangat baik dalam menginisiasi penanganan kesehatan jiwa yang berbasis komunitas. 

Hasil penelitian juga mengungkap keyakinan dan persepsi tertentu yang menyoroti stigma dan kesalahpahaman terkait kesehatan jiwa. Hampir separuh kader kesehatan yang mengikuti penelitian menyatakan bahwa pasien gangguan jiwa bisa makan apa saja yang ditemui di jalan tanpa mengalami kendala fisik. Anggapan serupa juga masih ditemukan di kalangan tenaga kesehatan di Indonesia (Marthoenis et al., 2023), bahkan ada yang menganggap bahwa kesehatan fisik yang rendah pada pasien gangguan jiwa merupakan hal yang wajar (Lerbæk et al., 2023). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa masih ada kesalahpahaman umum mengenai kesehatan jiwa dan menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran mengenai kesejahteraan, termasuk dampak nutrisi terhadap kesehatan jiwa.  Stigma dan kesalahpahaman terkait kesehatan jiwa masih  menjadi  masalah di seluruh dunia (Dubreucq et al., 2021; Mutiso et al., 2017; Ran et al., 2021). 

Hasil penelitian juga ditemukan berkaitan dengan dimensi budaya dan agama yang terkait dengan persepsi kesehatan mental. Kader kesehatan menghubungkan gangguan jiwa dengan praktik keagamaan, dimana sekitar satu dari lima kader kesehatan setuju bahwa kurangnya ibadah dapat menjadi penyebab gangguan jiwa.  Selain itu, masih ada kepercayaan yang menyatakan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh supernatural seperti ilmu sihir atau ilmu hitam. Sehingga cara menyembuhkannya adalah melalui jalur spiritual atau agama, seperti  ruqyah dan harus dilakukan oleh ulama. Keyakinan yang terkait dengan budaya dan agama ini telah menjadi bagian dari persepsi individu terhadap gangguan jiwa, yang kemudian mempengaruhi perilaku mereka dalam mencari kesehatan mental (Elshamy et al., 2023; Marthoenis, Aichberger, et al., 2016; Marthoenis et al., 2023).

Kesalahpahaman terkait budaya tidak hanya terjadi pada populasi penelitian yang mayoritas Muslim, tetapi juga di kalangan umat Kristen Latin (Caplan, 2019). Namun demikian, mereka memiliki satu kesamaan, yaitu menggunakan koping keagamaan seperti berdoa dan beriman kepada Tuhan (Caplan, 2019; Marthoenis, Aichberger, et al., 2016; Marthoenis et al., 2023). Oleh karena itu, hasil penelitian ini menekankan pentingnya menggabungkan kompetensi budaya dalam  intervensi kesadaran kesehatan jiwa. Memahami dan mengatasi nuansa budaya sangat penting untuk mengembangkan strategi efektif yang dapat diterima oleh masyarakat, meningkatkan literasi kesehatan mental, dan menghilangkan mitos seputar penyebab dan pengobatan gangguan jiwa.

Selain itu, hasil penelitian memberikan gambaran menarik tentang dampak beragam dari menjadi sukarelawan sebagai kader kesehatan, menekankan perannya tidak hanya dalam meningkatkan kapasitas individu tetapi juga dalam menumbuhkan rasa kebersamaan dan kolaborasi dalam lingkup layanan kesehatan yang lebih luas. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini menekankan kompleksitas pengaruh latar belakang budaya dan agama terhadap persepsi kesehatan jiwa, sehingga berpotensi untuk dikembangkan intervensi kesehatan jiwa di masyarakat yang peka budaya dan agama. 

Penulis: Dr. Rizki Fitryasari Patra Koesoemo, S.Kep., Ns., M.Kep.

Baca Juga: Faktor Penyebab Stres dan Depresi di Kalangan Tenaga Kesehatan