Selama lebih dari 3 tahun pandemi, COVID-19 menginfeksi lebih dari 765 juta orang, dengan kematian 6,9 juta kasus. Di Indonesia, hingga berakhirnya pandemi COVID-19, jumlah kasus COVID-19 berjumlah 6.048.204 dengan 156.371 kematian. Ketidakpastian dan ketakutan yang terkait dengan wabah virus, lockdown massal, dan resesi ekonomi menyebabkan tekanan psikologis dan masalah kesehatan mental secara global. Sebuah tinjauan yang melibatkan 19 studi pada populasi umum di China, Spanyol, Italia, Iran, Amerika Serikat, Turki, Nepal dan Denmark pada tahun 2020 melaporkan beberapa gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, gangguan stres pasca trauma, tekanan psikologis dan stres dalam berbagai kejadian.
Di Indonesia, sekitar 20–25% masyarakat mengalami gejala kecemasan, depresi, dan stres pada masa pertama dan kedua gelombang kedua pandemi COVID-19. Kesepian, kekhawatiran, dan depresi dilaporkan dapat merusak sistem kekebalan tubuh. Banyak orang yang terkena dampak langsung dan tidak langsung akibat infeksi SARS-CoV-2 dan mungkin tidak teratasi dalam waktu singkat.
Dampak sosial dari COVID-19 dapat dibagi menjadi beberapa aspek antara lain pembatasan sosial, kecemasan sosial, informasi sosial, keinginan sosial dan adaptasi sosial. Pembatasan sosial diperlukan untuk membatasi penyebaran SARS-CoV-2, gejala kecemasan berkorelasi dengan terbatasnya interaksi sosial, isolasi sosial dan karantina. Pandemi yang berkepanjangan, kemampuan beradaptasi menjadi penting untuk meningkatkan imunitas tubuh. Selain itu, keinginan sosial dapat memengaruhi perilaku seseorang termasuk kepatuhan dengan strategi pemerintah. Dampak pandemi yang lebih besar dirasakan oleh kelompok yang paling rentan, seperti generasi muda, lansia, masyarakat berpenghasilan rendah, pengidap penyakit penyerta, dll. Mengetahui bagaimana tekanan psikologis Masyarakat dan faktor yang mempengaruhinya sangatlah penting untuk memahami efek pandemik dan kejadian katastropik lainnya.
Studi yang dilakukan oleh peneliti Universitas Airlangga dan Universiti Teknologi Malaysia bertujuan untuk mengukur tekanan psikologis responden selama fase awal gelombang Omicron di Pulau Jawa. Studi yang melibatkan 396 masyarakat Jawa dewasa ini menunjukkan bahwa hampir 50% responden menghadapi tekanan psikologis selama fase awal varian Omicron, terutama dalam hal kewaspadaan yang berlebihan dan menghindari tempat umum. Beberapa faktor sosiodemografi mungkin berkontribusi terhadap kejadian tekanan psikologis termasuk usia, penyakit penyerta, usia muda dan tingkat pendidikan. Selama tahap awal gelombang Omicron, gejala kecemasan cukup banyak didapatkan, dan kejadiannya berkorelasi dengan usia. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa responden dewasa muda berisiko mengalami tekanan psikologis terkait COVID-19, dan hal ini mungkin memerlukan perhatian yang lebih dari para pemangku kebijakan.
Karena masalah psikologis dapat mempengaruhi kondisi kesehatan dan sebaliknya, memahami tekanan psikologis COVID-19, dampak sosial dari pandemi ini, dan faktor penentunya sangat penting untuk pemahaman yang lebih baik tentang variasi kerentanan selama pandemi COVID-19. Hal ini dapat bermanfaat untuk menghadapi kejadian bencana di masa depan, terutama di negara yang beragam seperti Indonesia.
Penulis: Annette d’Arqom, dr., M.Sc.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
d’Arqom A, Akram M, Azzahranisa NS, Nasution MZ, Surjaningrum ER, Yusof J. Societal influence and psychological distress among Indonesian adults in Java on the early Omicron wave of COVID-19. Future Sci OA. 2023 Aug 29;9(10):FSO894. doi: 10.2144/fsoa-2023-0104. PMID: 37753359; PMCID: PMC10518838.