Universitas Airlangga Official Website

Penguatan Tata kelola Blue Carbon di Indonesia

Ilustrasi Blue carbon (sumber: zonaebt)

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah merilis data mengenai peningkatan suhu global sebesar 1,09% dari tahun 2011 hingga 2020 yang menyebabkan kenaikan muka air laut sebesar 3,65 persen atau 1 cm per tahun. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya emisi karbon yang dapat memengaruhi perubahan iklim secara signifikan hingga menjadi perhatian di tingkat internasional. Di Indonesia, emisi gas rumah kaca (GRK) tercatat sebesar 259,1 juta ton CO2 pada tahun 2021. Angka ini diproyeksikan meningkat sebesar 29,13% sehingga menjadi 334,6 juta ton CO2. Komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon diawali dengan disahkannya Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris terhadap United Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Terbaru, Indonesia gencar meningkatkan target pengurangan emisi karbon yang tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), dimana salah satu sektornya yakni melalui Forest and Other Land Uses (FOLU).

Hutan mangrove sebagai bagian dari FOLU rupanya juga memiliki potensi blue carbon yang cukup tinggi meliputi biomassa pada permukaan dan sedimen mangrove maupun biomassa di bawah permukaan. Bahkan, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto juga menegaskan bahwa karbon biru berpotensi mengakselerasi pencapaian komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca yang secara jelas telah dinyatakan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).

Namun sayangnya, pengelolaan kawasan pesisir termasuk padang lamun dan mangrove dalam kebijakan ekosistem blue carbon (EKB) masih menghadapi tantangan yang kuat, seperti duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Oleh karenanya, untuk mewujudkan tata kelola kelembagaan pengelolaan mangrove yang ideal, diperlukan skema kerja sama antar sektor instansi pemerintah. Selain itu, diperlukan juga integrasi pangkalan data (database), perencanaan, pengelolaan, pengawasan, hingga pemberian manfaat ekonomi bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

Penulis: Prof. Dr. Budi Suprapti, dra., M.Si.

Baca juga: Tinjauan Sistematis dan Meta-Analisis Prevalensi Karies Gigi pada Anak-Anak