Universitas Airlangga Official Website

Pentingnya Ekspresi Sikap dalam Penulisan Artikel Ilmiah

menulis
Ilustrasi oleh CNN Indonesia

Tulisan ilmiah sering kali dianggap sebagai karya yang obyektif dan impersonal karena menuntut penjelasan ilmiah secara analitis. Namun, di balik kerangka analitis tersebut, tulisan ilmiah juga merupakan bentuk persuasi yang mencerminkan pandangan penulis terhadap isu yang dianalisis. Dalam dunia akademis, kehadiran sikap dalam tulisan menjadi penting, sebab hal ini menunjukkan kemampuan berpikir kritis penulis. Di sisi linguistik, ekspresi sikap dapat dinyatakan melalui penggunaan penanda sikap (stance markers). Sikap ini merupakan pandangan tekstual yang mencerminkan posisi penulis serta nilai-nilai yang diyakini oleh suatu komunitas. Keahlian penulis dalam membentuk identitas penulis dan mengelola kehadiran mereka untuk meyakinkan pembaca sangat penting dalam penulisan artikel ilmiah. Dengan menampilkan kehadiran penulis dan sikap dalam teks, penulisan dapat menjadi lebih analitis dan menunjukkan tingkat pengetahuan dia tentang topik terkait. Penggunaan ekspresi sikap juga bisa mempengaruhi penilaian pembaca terhadap kualitas penulisan, terutama dalam konteks akademis.

Studi mengenai penanda sikap (stance markers) umumnya difokuskan pada artikel penelitian dan tulisan akademis mahasiswa. Namun, belum banyak penelitian yang membandingkan penggunaan penanda sikap antara penulis berbahasa Inggris sebagai bahasa pertama dengan penulis berbahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama.

Hasil penelitian terkini terhadap korpus akademik Indonesia yang terdiri dari artikel dalam bidang linguistik terapan yang ditulis oleh penutur asli bahasa Indonesia dan korpus akademik bahasa Inggris yang terdiri dari artikel oleh penutur asli bahasa Inggris menunjukkan pola penggunaan penanda sikap yang berbeda. Penulis berbahasa Inggris sebagai bahasa kedua menggunakan lebih banyak boosters dan attitude markers. Sedangkan penulis berbahasa Inggris sebagai bahasa pertama lebih banyak menggunakan hedges dan self-mentions, dengan disparitas yang paling mencolok teramati dalam penggunaan referensi diri (self-mention).

Penggunaan yang lebih sedikit dari penyebutan diri oleh penulis bahasa Inggris non-natif dapat dipengaruhi oleh cara mereka diajarkan dalam kelas-kelas penulisan akademis mereka. Penulis non-natif bahasa Inggris umumnya diajarkan untuk menghindari penggunaan kata ganti orang pertama dalam wacana akademis tertulis karena hal ini terkait dengan subjektivitas dan dianggap oleh pendidik konvensional sebagai tidak pantas dalam penulisan akademis, yang tampaknya juga terjadi dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk menggunakan kalimat pasif, subjek non-manusia, atau it sebagai subjek palsu.

Hal ini tentunya memiliki implikasi, terutama dalam konteks pengajaran Bahasa Inggris untuk tujuan akademis, terutama di Indonesia. Perbedaan signifikan dalam penggunaan penanda sikap menunjukkan pentingnya memberikan instruksi yang tepat kepada mahasiswa. Terutama mereka yang menekuni studi linguistik terapan atau ilmu humaniora dan sosial. Pendidik dalam bidang ini perlu mempertimbangkan pendekatan pedagogis yang lebih sensitif terhadap norma-norma diskursif dalam genre penelitian serta harapan retoris dalam penulisan disipliner. Sebagai contoh, karena penulis bahasa Indonesia menggunakan jumlah boosters dan penanda sikap (attitude markers) yang lebih banyak, mahasiswa dapat dipandu untuk menggunakan perangkat ini secara efektif untuk memperkuat argumen mereka dan mengekspresikan kepercayaan diri dalam menulis mereka.

Sebaliknya, penggunaan yang kurang dari hedges menunjukkan perlunya mengajarkan kepada pembelajar bahasa Inggris cara menggunakan perangkat ini untuk mengurangi potensi generalisasi berlebihan atau ketegasan dalam penulisan akademis mereka. Selain itu, penulis bahasa Inggris non-natif dapat dipandu untuk meningkatkan penggunaan penyebutan diri mereka, khususnya kata ganti orang pertama, yang dapat meningkatkan keterlibatan personal dan kehadiran penulis dalam tulisan mereka, menunjukkan keputusan retoris mereka untuk menetapkan kredibilitas mereka dan mendapatkan persetujuan atau kredit untuk klaim mereka.

Dengan memahami perbedaan penggunaan penanda sikap antara penulis berbahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan penulis berbahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, kita dapat memperkaya pengetahuan kita tentang bagaimana latar belakang linguistik dan budaya dapat memengaruhi wacana akademik. Pemahaman ini menjadi krusial dalam menghadapi lanskap akademik global saat ini. Di mana para akademisi dari berbagai latar belakang berkolaborasi dan berkomunikasi lintas batas. Dengan mengetahui fitur-fitur linguistik yang memengaruhi praktik penulisan akademik di berbagai konteks budaya, penelitian ini memberikan wawasan bagi pengembangan strategi pengajaran yang lebih efektif untuk mahasiswa Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.

Sejalan dengan itu, pemahaman tentang pentingnya instruksi yang ditargetkan dan kegiatan praktik untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menggunakan penanda sikap (stance markers) dengan tepat menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas penulisan akademik mereka. Dengan demikian, keberhasilan dalam menulis akademik tidak hanya didasarkan pada analisis yang mendalam. Tetapi juga pada kemampuan penulis dalam mengekspresikan sikap dengan tepat dalam tulisannya.

Penulis: Muchamad Sholakhuddin Al Fajri, S.S., M.A.

Link jurnal: https://doi.org/10.22363/2521-442X-2024-8-1-54-65
Baca juga: Tips Menulis Penelitian Layak Publikasi