Universitas Airlangga Official Website

Penundaan Aksesi pada Protokol Palermo: Kasus Bangladesh

Bangladesh merupakan negara penyedia atau supplier terbesar untuk perdagangan manusia dengan berbagai tujuan termasuk untuk tujuan eksploitasi seksual (sex trafficking) yang porsinya mencapai 57% dibandingkan dengan jenis perdagangan manusia yang lain. Selain itu Bangladesh juga mengalami penurunan peringkat tier menjadi 2 watch list, yang membuat Bangladesh satu langkah lebih dekat menuju peringkat terbawah dalam pemeringkatan TVPA yang dilakukan oleh USAID milik Amerika Serikat. Peringkat ini juga menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan oleh Bangladesh dalam mengurangi dan mengendalikan kasus perdagangan manusia di negaranya masih buruk.  Kondisi Bangladesh yang terpuruk selama bertahun-tahun dengan banyaknya kasus, tidak kemudian membuat Bangladesh tergerak untuk mencari bantuan melalui rezim internasional humanitarian yang secara khusus bertujuan mengkriminalisasi dan menghukum tindak perdagangan manusia yakni Protokol Palermo. Protokol ini telah disahkan secara resmi sejak tahun 2003 lalu. Setelah 16 tahun berlalu, Bangladesh baru kemudian melakukan aksesi terhadap Protokol Palermo.

Alasan penundaan Bangladesh dalam mengaksesi Protokol Palermo setelah 16 tahun Protokol Palermo ini berlaku adalah karena disebabkan oleh tiga faktor utama yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

Faktor pertama adalah karena ketidakmampuan Bangladesh dalam mengatasi tingginya kasus sex trafficking di negaranya. Sejak tahun 2003 saat Protokol Palermo pertama kali disahkan, Bangladesh telah menjadi negara dengan kasus yang tinggi dan penanganan yang buruk. Akan tetapi puncak tingginya kasus berada pada tahun 2017 yang dipicu oleh migrasi paksa kelompok minoritas Rohingya pasca peristiwa Genosida di Myanmar 2016-2017. Peristiwa itu mendorong terjadinya gelombang besar masuknya imigran ke Bangladesh yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh organisasi kriminal lintas untuk menjaring lebih banyak korban untuk diperdagangkan yang salah satu tujuan terbesarnya adalah untuk tujuan eksploitasi seksual. Tingginya kasus dan ketidaksiapan pemerintah Bangladesh menjadi penyebab turunnya peringkat tier Bangladesh selama tiga tahun berturut-turut menjadi peringkat 2 watch list. Hal ini menjadi ancaman terbesar bagi Bangladesh sebab Bangladesh sangat dekat berada pada peringkat terbawah yakni peringkat 3 yang dapat berakibat sanksi penghentian bantuan humanitarian.

Faktor selanjutnya adalah mengenai kesiapan Bangladesh dalam mengaksesi Protokol Palermo. Sebagai rezim internasional humanitarian yang memiliki soveregnity cost yang cukup tinggi di dalamnya, negara perlu menyesuaikan dan bahkan merubah peraturan domestik untuk disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan sebagai syarat bergabung ke dalam Protokol Palermo. Kondisi ini disebut sebagai soveregnity cost. Walaupun telah memiliki UU yang mengkriminalisasi perdagangan manusia khususnya untuk perempuan dan anak-anak sejak lama, Bangladesh masih banyak kekurangan utamanya di bidang penyelidikan, penyelamatan, pemulangan dan rehabilitasi korban.

Hingga pada akhirnya Bangladesh baru dinilai siap pasca pengesahan The Prevention and Supression of Human Trafficking Act di tahun 2012 dan pembentukan NAP 2018-2022. Kedua instrument tersebut menjadi turning point kesiapan Bangladesh dalam mengaksesi Protokol Palermo. Sejalan dengan argumentasi Teori The Cost of Soveregnity Cost, pertimbangan negara dalam meratifikasi suatu perjanjian tidak hanya berdasarkan pada soveregnity cost saja, tetapi juga kemungkinan untuk merealisasikan soveregnity cost terhadap perjanjian tersebut. Keberadaan dua instrumen tersebut memperbesar kemungkinan Bangladesh untuk merealisasikan soveregnity cost di dalam Protokol Palermo.

Lebih lanjut, masih sejalan dengan argumentasi dari teori The Cost of Soveregnity Cost, alasan negara dengan kasus trafficking yang tinggi dan penanganan yang buruk mengikuti perjajian internasional kemanusiaan adalah untuk mendapatkan benefit yang ditawarkan oleh negara anggota yang lebih kuat guna mengatasi konflik kemanusiaan yang tidak bisa diselesaikannya sendirian.Argumen ini menjadi dasar bagi penulis menemukan faktor terakhir yang mendorong Bangladesh sebagai negara dengan kasus yang tinggi mau mengaksesi Protokol Palermo. Keuntungan-keuntungan yang hanya bisa diakses oleh anggota yang telah meratifikasi dan mengaksesi Protokol Palemo ini yang menjadi salah satu alasan kuat untuk mendorong negara seperti Bangladesh untuk turut serta bergabung dengan melakukan aksesi.

Ada beberapa berapa keuntungan yang diberikan yakni berupa mekanisme kerjasama bilateral maupun multilateral, pertukaran informasi, joint training, dan kerjasama penguatan perbatasan. Tidak lama pasca melakukan aksesi terhadap Protokol Palermo, Bangladesh telah mendapatkan beberapa keuntungan seperti akses terhadap keanggotaan dan pembentukan sistem informasi terpadu bersama GLO ACT, joint training bersama USAID, lembaga yang bergerak untuk memerangi perdagangan manusia milik AS serta penguatan kerjasama perbatasan dengan negara tetangganya, India yang lebih dulu bergabung ke dalam Protokol Palermo.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa proses aksesi yang dilakukan oleh Bangladesh merupakan efek dari dua momentum besar yakni tingginya jumlah korban di tahun 2017 hingga 2019 dan kesiapan Bangladesh dalam memenuhi soveregnity cost Protokol Palermo di tahun yang sama. Momentum ini kemudian didorong oleh faktor pendukung lain yang kuat berupa keinginan Bangladesh untuk mengakses keuntungan yang dapat membantunya mengatasi kemajuan ekspansi bisnis illegal sex trafficking yang dilanggengkan oleh organisasi kriminal lintas batas.

Selama ini kelompok neoliberalisme sering menyebutkan bahwa negara cenderung lebih memilih untuk membentuk atau bergabung ke dalam rezim internasional saat mengalami kesulitan dalam menghadapi anarki. Namun kasus yang terjadi pada Bangladesh mampu memberikan sudut pandang lain, bahwa ada banyak negara-negara seperti Bangladesh yang telah lama kesulitan dan tidak mampu untuk mengatasi anarki secara sendirian. Akan tetapi, kondisi yang dihadapi di dalam negeri  membuatnya tidak dapat segera bergabung ke dalam rezim internasional besar seperti Protokol Palermo. Hal ini dikarenakan ada banyak sekali penyesuaian dalam negeri yang perlu dipersiapkan hanya untuk memenuhi syarat untuk bergabung ke dalam sebuah rezim internasional.

Penulis: Baiq Lekar Sinayang Wahyu Wardhani, Dra., MA., Ph.D

Jurnal: https://jiwp.umy.ac.id/index.php/jiwp/article/view/36