Pekerja anak telah lama menjadi isu global, yang sangat memengaruhi pengembangan sumber daya manusia karena dampak negatifnya terhadap kesehatan dan pendidikan anak-anak (Hamenoo et al., 2018; Schult & Strauss, 2008). Penyakit sering menyerang anak-anak, yang menyebabkan mereka sering tidak masuk sekolah. Selain itu, prestasi akademis mereka biasanya tertinggal dari teman-teman sebayanya yang hanya fokus pada studi, karena komitmen kerja mereka mengurangi waktu belajar. Isu-isu ini tidak hanya merugikan kesejahteraan langsung anak-anak tetapi juga potensi pendapatan mereka di masa depan. Pada akhirnya, pekerja anak muncul sebagai masalah sosial dengan implikasi ekonomi yang substansial bagi pertumbuhan dan pembangunan nasional.
Pandemi Covid-19 telah memperburuk prevalensi pekerja anak karena meningkatnya kerentanan ekonomi dan kemiskinan akibat karantina wilayah global (ILO & UNICEF, 2022). Penutupan sekolah telah membahayakan anak-anak yang paling rentan, meningkatkan kemungkinan mereka tidak akan pernah kembali ke sekolah, yang mungkin menyebabkan lebih banyak pekerja anak atau pernikahan di bawah umur. Pada tahun 2020, jumlah pekerja anak global mencapai 160 juta, menandai peningkatan 8,4 juta dari empat tahun sebelumnya (ILO & UNICEF, 2022). Gambar 1 menunjukkan bahwa di Indonesia, pandemi meningkatkan pekerja anak secara signifikan, dengan angka meningkat dari 920.000 pada tahun 2019 menjadi 1,33 juta pada tahun 2020. Meskipun jumlahnya menurun pada tahun 2021, jumlahnya tetap di atas tingkat sebelum pandemi.
Sebagai respons terhadap tantangan ini, pemerintah Indonesia telah meningkatkan program bantuan tunai bersyarat (CCT) yang sedang berlangsung, Program Keluarga Harapan (PKH), yang awalnya diluncurkan pada tahun 2007. Program ini bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan mendorong pengembangan sumber daya manusia dengan menawarkan bantuan keuangan kepada keluarga kurang mampu. Dengan tujuan memutus siklus kemiskinan lintas generasi (Kementerian Sosial, 2022). Secara teori, program CCT dapat mengurangi pekerja anak baik dengan mengganti upah anak (efek pendapatan). Dengan mengganti waktu yang dihabiskan anak di tempat kerja dengan waktu yang dihabiskan di sekolah (efek substitusi) (Cepaluni et al., 2022). Selama pandemi, pemerintah meningkatkan manfaat PKH, menaikkan bantuan per komponen sebesar 25 persen dan beralih dari penyaluran triwulanan menjadi penyaluran bulanan (Kementerian Keuangan, 2021).
Dalam konteks Indonesia, evaluasi dampak PKH terhadap pekerja anak juga menunjukkan hasil yang bervariasi. Temuan awal dari survei dasar tahun 2007 oleh Sparrow et al. (2008) tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam insiden pekerja anak antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dua tahun kemudian, Alatas et al. (2011) melaporkan bahwa PKH tidak secara signifikan mengurangi pekerja anak. Namun, enam tahun setelah implementasi, Cahyadi et al. (2020) mendokumentasikan penurunan 4,4 poin persentase dalam proporsi anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan berbayar. Menurut Dammert et al. (2018), perbedaan dalam definisi pekerja anak, konteks implementasi, dan instrumen kebijakan dapat menyebabkan berbagai hasil terkait pekerja anak.
Mengingat berbagai temuan dan peran penting CCT selama krisis ekonomi, penelitian ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan kritis dalam pemahaman saat ini tentang bagaimana program CCT. Khususnya PKH Indonesia, berdampak pada pekerja anak selama pandemi Covid-19. Dengan membandingkan data pra-pandemi (2019) dan pandemi (2021) di seluruh konteks pedesaan dan perkotaan, studi ini berupaya menilai apakah PKH berfungsi sebagai jaring pengaman yang efektif terhadap pekerja anak dalam kondisi krisis. Berfokus pada konteks sosial ekonomi Indonesia, studi ini berupaya memberikan wawasan yang dapat ditindaklanjuti untuk mengoptimalkan intervensi CCT. Meneliti dinamika perilaku pelaku ekonomi terkait krisis ini dapat membantu memahami dengan lebih baik bagaimana intervensi pemerintah dapat memengaruhi hasil jika krisis serupa terjadi di masa mendatang (Baria, 2020).
Penelitian ini menyoroti dinamika pekerja anak di Indonesia selama pandemi Covid-19, khususnya dengan mengkaji peran Program Keluarga Harapan (PKH), sebuah program transfer tunai bersyarat. Studi ini berkontribusi pada literatur tentang kemanjuran program perlindungan sosial dalam situasi krisis, dengan menggunakan metode Propensity Score Matching. Temuan ini menyoroti persistensi dan kompleksitas masalah pekerja anak. Menekankan kesenjangan geografis dan lonjakan signifikan pekerja anak selama pandemi, terutama di daerah perkotaan. Meskipun program PKH menunjukkan potensi, dampaknya dalam mengurangi pekerja anak terbatas, terutama selama periode guncangan ekonomi yang parah.
Hasilnya menekankan kebutuhan penting bagi para pembuat kebijakan untuk mengakui sifat pekerja anak yang multifaset saat merancang intervensi. Peningkatan pada program yang ada dapat melibatkan fleksibilitas yang lebih besar untuk beradaptasi dengan perubahan ekonomi yang tiba-tiba, seperti memodifikasi manfaat dan cakupan. Faktor-faktor seperti dinamika pedesaan-perkotaan harus diperhitungkan, mengingat anak-anak perkotaan jelas lebih rentan selama krisis. Selain itu, dukungan yang ditargetkan untuk keterlibatan pendidikan selama keadaan darurat sangat penting. Khususnya di wilayah yang menghadapi tantangan dengan pembelajaran jarak jauh karena keterbatasan infrastruktur. Selain itu, harus ada pertimbangan untuk menerapkan ketentuan anti-pekerja anak yang spesifik. Karena waktu yang dihabiskan anak-anak di sekolah dan di tempat kerja tidak sepenuhnya bersamaan. Oleh karena itu, persyaratan kehadiran di sekolah saja mungkin tidak cukup untuk secara efektif mengurangi pekerja anak.
Penulis: Cindy Candrawati dan Ilmiawan Auwalin
Link: https://journal.unnes.ac.id/sju/edaj/article/view/78971
Baca juga: Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga Anak dalam Budaya Ngenger Masyarakat Jawa di Indonesia