Universitas Airlangga Official Website

Perjuangan Film Lokal dalam Penyedia Layanan OTT

Ilustrasi Aktor & Aktris Lokal Waktu Netflix Indonesia
Ilustrasi Aktor & Aktris Lokal Waktu Netflix Indonesia (sumber: WowKeren)

Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film-film dari industri perfilman lokal membuat industri film Indonesia semakin meroket. Berbagai respons positif dengan antusiasme yang sangat baik dari masyarakat ini membuat berbagai judul film mulai produksi dan tayang. Baik di bioskop maupun platform-platform digital. Menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, pada 2022, total penonton film Indonesia mencapai jumlah 54.073.776 orang. Jumlah tersebut merupakan sebuah pencapaian tertinggi perfilman Indonesia dan belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, pada tahun 2019, penonton film Indonesia hanya mencapai 51,9 juta penonton. Kemudian adanya pandemi di tahun 2020 membuat jumlah penonton turun secara drastis menjadi 12,8 juta akibat pembatasan sosial yang ketat. Lalu turun lagi menjadi 4,5 juta pada 2021. Dengan adanya perkembangan jumlah penonton ini, merupakan bukti potensi Industri Film lokal di Indonesia di bioskop maupun platform-platform digital

Di era digital ini, perkembangan penyedia layanan streaming atau OTT (Over-The-Top) menjadi platform utama bagi banyak orang untuk menonton film dan serial.  Sebut saja salah satunya adalah Netflix. Netflix sebagai salah satu penyedia dari layanan OTT, memberikan dampak kepada perilaku budaya perfilman umat manusia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian oleh Media Partners Asia (MPA) yang menjelaskan bahwa platfrom video berbayar seperti Netflix, Viu, WeTV, iQYI dan Video telah mendapatkan 10% bagian dari Share of Video Streaming Minutes in SEA di Q1 2021. Dari Share Premium Video Berbayar In SEA, Netflix memimpin dalam peringkat tertinggi dengan 40% pangsa pasar konsumsi streaming video berbayar. Besarnya pangsa pasar konsumsi streaming video Netflix, membuka peluang bagi para pelaku industri film lokal untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Di balik besarnya peluang pasar ini, terdapat pula tantangan yang dihadapi oleh para pelaku industri film lokal. Terutama dalam hal persaingan dengan film-film besar dan terkenal yang tersedia di platform OTT. Dikutip dari Pasal 98 Ayat 1(C) Dalam Undang-undang Penyiaran yang menyatakan “Kewajiban Lembaga Penyiaran dalam memperlakukan sama terhadap setiap pembuat Konten Siaran”. Yang artinya, kewajiban penyedia layanan OTT Netflix dalam menyetarakan film-film yang ada pada katalognya. Dalam peraturan ini memang memastikan keadilan bagi para pembuat film. Sayangnya, film-film yang ada pada katalog Netflix juga melibatkan film-film besar yang sedang trending saat ini. Bahkan film-film box office yang telah dibeli license-nya oleh Netflix.  

Film-film Box Office Yang Masuk Pada Halaman Utama Netflix

Dari gambar di atas dapat terlihat film-film Box Office seperti film Fast Furious, Twillight, Top Gun dll dengan produksi yang jauh lebih besar dari film lokal. Hal ini membuat film lokal sulit untuk bersaing dengan film-film besar dan terkenal yang telah memiliki basis penggemar yang kuat dan anggaran produksi yang jauh lebih besar. Akibatnya, film lokal seringkali terkubur dalam lautan konten di platform OTT. Sehingga sulit untuk mendapatkan perhatian dan ditonton oleh para pengguna. Tantangan ini membuat para pembuat film lokal harus bekerja keras untuk mempromosikan film mereka dan membangun basis penggemar mereka sendiri.

Tantangan pelaku industri film lokal juga dirasakan dalam kolaborasi penyedia layanan OTT terkait pembelian license dan pembagian royalti kepada penyedia layanan yaitu Netflix. Hal ini sesuai dengan peraturan Pasal 97 ayat 2 huruf d dan huruf e Undang-Undang Penyiaran, Lembaga Penyiaran (dalam hal ini penyedia layanan OTT) berhak mendapatkan keuntungan dari kerjasama dan menerima pembayaran atas pengguna media. Hal ini menciptakan tantangan bagi pelaku industri film yaitu negosiasi yang sulit, harga lisensi yang rendah, ketidakjelasan kontrak, skema royalti yang tidak transparan, dan pembayaran royalti yang lambat.

Tantangan ini berimbas pada keterbatasan dana produksi, sulitnya bersaing dengan film internasional, dan terhambatnya kreativitas. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan upaya kolektif dari para pembuat film lokal untuk membangun asosiasi yang kuat dan bersatu dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Selain itu, penting untuk meningkatkan kualitas film, memaksimalkan penggunaan platform OTT, dan mencari sumber pendanaan alternatif. Dengan berbagai upaya dan strategi yang tepat, diharapkan industri film lokal dapat terus berkembang dan berkarya. Serta memberikan kontribusi yang positif bagi kekayaan budaya dan perfilman nasional.

Penulis: Mohammad Habibi Surya Buwana