Universitas Airlangga Official Website

Pinjol dan Segala Kontroversinya: Haruskah Kita Pertahankan atau Hapuskan?

Ilustrasi oleh Liputan6.com

Seiring perkembangan teknologi yang semakin pesat pada era digital, bermunculan berbagai jenis produk dan layanan inovatif baru yang ditawarkan oleh industri, termasuk diantaranya yaitu Financial Technology (Fintech). Salah satu jenis Fintech yang paling awal berkembang di Indonesia adalah P2P Lending (Peer-to-Peer Lending) atau yang lebih akrab disapa Pinjol (Pinjaman Online), yang berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pinjol berhasil menarik perhatian publik dengan cepat karena dapat memungkinkan pemberian pinjaman kepada siapapun dengan syarat yang jauh lebih mudah dibandingkan bank dan proses yang jauh lebih sederhana melalui aplikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, Pinjol kerap kali juga menjadi bahan perbincangan yang penuh kontroversi. Disatu sisi, Pinjol membawa dampak positif berupa peningkatan inklusi keuangan yang menjadi salah satu target utama Pemerintah, serta peningkatan kontribusi sektor keuangan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Disisi lain, Pinjol juga membawa berbagai dampak negatif, sampai memunculkan mosi penghapusan Pinjol dari berbagai pihak.

Kesulitan pengembangan bisnis yang relatif rendah, membuat Pinjol ilegal yang tidak terdaftar dan berizin di OJK semakin menjamur. Pinjol ilegal berjalan tanpa mengikuti regulasi yang ada, dengan penerapan bunga mencekik, sistem penagihan disertai ancaman dan kekerasan, serta berujung pada tidak sedikitnya konsumen yang tertekan hingga bunuh diri. Ironisnya, kasus serupa tidak hanya ditemukan pada Pinjol ilegal, namun juga Pinjol legal. Baru-baru ini didapati juga kasus bunuh diri dari salah satu pengguna AdaKami yang merupakan Pinjol legal, namun diduga tetap melakukan berbagai praktik yang melanggar ketentuan, yang membuatnya tidak jauh berbeda dengan Pinjol ilegal. Ironisnya lagi, pengambilan pinjaman pada Pinjol kerap kali tidak didasari desakan kebutuhan ekonomi dan hanya untuk mendukung gaya hidup konsumerisme. Berbagai hal ini membawa kita pada pertanyaan mendasar mengenai Pinjol. Apakah sebetulnya Pinjol baik atau buruk? Haruskah kita mempertahankan atau menghapus eksistensi dari bisnis Pinjol?

Selama ini, Pemerintah cenderung mendukung pengembangan Fintech, termasuk Pinjol, karena dianggap mampu menjadi penggerak roda ekonomi dan dapat bersesuaian dengan roadmap revolusi industri 4.0. Jika kita melihat dari perspektif positif, Pinjol memang juga dapat memberikan berbagai manfaat dan mengisi gap yang belum bisa dicapai dengan mengandalkan pada Lembaga Keuangan lainnya. Seperti misalnya terkait pembukaan akses kredit untuk UMKM yang sering kali tidak memenuhi persyaratan pengajuan kredit perbankan. Namun demikian, berbagai fenomena yang terjadi dan membuat persepsi publik menjadi cenderung negatif terhadap Pinjol menjadi bukti nyata bahwa hal ini merupakan isu yang serius dan tentunya juga tidak dapat diabaikan. Penegakan regulasi yang ada terkait Pinjol masih jauh dari sempurna. Namun isu lainnya yang membuat dampak negatif dari Pinjol semakin teramplifikasi adalah rendahnya literasi keuangan dari masyarakat kita sendiri.

Berdasarkan Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh OJK, literasi keuangan di tahun 2022 mencapai 49.68% yang telah meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya di level 38.03%. Namun demikian, walaupun mengalami peningkatan, angka tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan sendiri yang telah mencapai 85.10% di tahun 2022. Tingkat literasi keuangan ini lebih rendah lagi dalam kaitannya dengan Fintech. Berdasarkan data SNLIK, literasi keuangan mengenai Fintech hanya sebesar 0.34% di tahun 2019 dan meningkat menjadi 10.90% di tahun 2022. Sekali lagi, walaupun terdapat peningkatan, namun tingkat literasi keuangan mengenai Fintech tersebut masih sangat kecil bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat literasi keuangan nasional sendiri. Berbagai fakta tersebut membawa pada pertanyaan selanjutnya. Sekalipun memang Pinjol dapat memberi dampak positif jika digunakan dengan bijak, tapi apakah negara dan masyarakat kita sudah siap untuk itu?

Rendahnya tingkat literasi keuangan terkait Fintech, termasuk Pinjol didalamnya, mengindikasikan bahwa masyarakat kita tidak benar-benar memahami bagaimana layanan Pinjol bekerja. Hal ini yang kemudian membawa pada diambilnya berbagai keputusan keuangan yang tidak tepat dari banyak masyarakat kita yang selanjutnya berakhir menjadi korban, baik dari Pinjol ilegal ataupun legal. Menyikapi hal ini, Pemerintah jelas perlu melakukan penguatan penegakan regulasi yang ada. Namun hal yang lebih vital dan krusial dibanding semua itu rasanya adalah peningkatan literasi keuangan dari masyarakat kita. Hal ini dapat dimulai dengan memahami perbedaan antara Pinjol legal dan ilegal, memahami cara kerja Pinjol dan bunga yang diterapkan, membaca dengan seksama Syarat dan Ketentuan yang berlaku, dan lebih berhati-hati dengan data pribadi kita. Bukan untuk kita menjadi antipati terhadap Pinjol sepenuhnya, namun agar kita dapat menjadi lebih bijak dalam menyikapi semuanya. Dengan demikian, kita dapat tetap mempertahankan dampak positif dari Pinjol, namun dengan menekan dampak negatif yang bisa dimunculkan darinya.

Penulis: Zahrin Haznina Qalby, S.M., M.Sc. (Dosen FEB UNAIR)