Universitas Airlangga Official Website

Potensi Tanaman Tempuyung sebagai Obat Malaria

Foto by Orami

Malaria adalah penyakit endemik di daerah tropis Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan, dan diketahui menyebar bahkan pada populasi yang divaksinasi. Pada tahun 2020, malaria menyumbang 241 juta infeksi baru dan 627 ribu kematian di seluruh dunia di 87 negara endemik. Terdapat 14 juta lebih kasus malaria dan 47.000 kematian lebih banyak dibandingkan tahun 2019. Oleh karena itu, salah satu Tujuan Pembangunan Milenium PBB (MDGs) adalah untuk mengurangi insiden dan morbiditas dan mortalitas terkait malaria. Target eliminasi malaria di Indonesia adalah 75% negara, tanpa kabupaten endemik tinggi pada akhir tahun 2024. Namun, hambatan yang signifikan terhadap pengobatan dan prognosis malaria adalah resistensinya terhadap klorokuin dan terapi kombinasi berbasis artemisinin. Ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan obat antimalaria baru dan banyak peneliti sedang mengeksplorasi kemanjuran produk sintetis dan alami.

Diperkirakan 80% populasi global menggunakan produk alami untuk mengobati berbagai penyakit dan penyakit. Dalam kasus malaria, 75% pasien telah dilaporkan untuk mengobati dengan obat tradisional yang berasal dari berbagai sumber tanaman, termasuk Cinchona succirubra L., serta obat-obatan yang relatif lebih baru, seperti artemisinin, yang dihasilkan dari Artemisia annua L. Di Indonesia, tempuyung dengan ilmiah Sonchus arvensis L., spesies yang sangat invasif dari famili Asteraceae, digunakan sebagai tanaman obat tradisional untuk pengobatan malaria. Tumbuhan ini mengandung berbagai senyawa aktif termasuk flavonoid, saponin, dan polifenol, yang telah dilaporkan sebagai antioksidan sedang hingga tinggi, hepatoprotektif, nefroprotektif, antiinflamasi, dan aktivitas antibakteri. Meskipun S. arvensis L. memiliki manfaat farmasi, belum pernah dievaluasi untuk pengobatan malaria secara in vivo. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa ekstrak metanol kalus S. arvensis L. menunjukkan aktivitas antiplasmodial dengan nilai konsentrasi hambat setengah maksimal (IC50) sebesar 0,343 µg/mL pada 1 mg/L asam 2,4-diklorofenoksiasetat dan 0,5 mg/L benzil amino purin diinkubasi tanpa cahaya.

Hasi penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antiplasmodial ekstrak n-heksan, etil asetat, dan etanol daun S. arvensis L. secara in vitro menunjukkan aktivitas yang baik, dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 5,119±3,27, 2,916±2,34, dan 8,026±1,23 µg/mL. Masing-masing ekstrak juga menunjukkan antioksidan tinggi dengan efek sitotoksik rendah. Selanjutnya, ekstrak etil asetat menunjukkan aktivitas antiplasmodial in vivo dengan ED50 = 46,31±9,36 mg/kg berat badan, serta aktivitas hepatoprotektif, nefroprotektif, dan imunomodulator pada mencit yang diinfeksi P. berghei. Meskipun berbagai bioaktivitas telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini menyoroti aktivitas antiplasmodial ekstrak etil asetat daun S. arvensis L. terhadap Plasmodium berghei. Hasil ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi kandidat obat antimalaria baru. Namun, senyawa dan strategi pemblokiran transmisi untuk pengendalian malaria ekstrak S. arvensis L. sangat penting untuk penelitian lebih lanjut.

Penulis: Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si., M.Si.

Link Jurnal:

https://bmccomplementmedtherapies.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12906-023-03871-7