Universitas Airlangga Official Website

Prevalensi pada Ulkus dan Perforasi Lambung Duodenum

ulkus lambung
Ilustrasi ulkus lambung (sumber: Indonesia Re)

Ulkus lambung mengacu pada kondisi peradangan atau kerusakan tertentu pada lapisan lambung. Sedangkan perforasi lambung adalah masalah yang lebih serius yang memiliki gejala terbentuknya lubang atau robekan pada dinding lambung. Perforasi lambung umumnya terjadi akibat ulkus lambung yang tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik. Kedua kelainan ini memerlukan intervensi medis dan perforasi lambung dianggap sebagai keadaan darurat medis karena dapat menimbulkan konsekuensi yang parah. Faktor risiko perforasi lambung duodenum bervariasi berdasarkan wilayah geografis yang terkait dengan faktor sosiodemografi dan lingkungan.

Hasil penelitian sebelumnya mengungkap bahwa prevalensi rata-rata infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) pada pasien dengan ulkus lambung perforasi adalah sekitar 65-70%. Pasien sering kali tidak memahami gejala dan indikator dari perforasi lambung duodenum, sehingga mengakibatkan tertundanya pengobatan dan membahayakan nyawa mereka. Oleh karena itu penggunaan CT scan sangat penting dan perlu diperhatikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan mendeteksi perforasi. Prevalensi perforasi lambung duodenum dalam beberapa tahun terakhir telah menarik perhatian para peneliti di bidang medis dan pemberantasan H. pylori menjadi fokus utama sebagai strategi untuk menekan perforasi lambung duodenum.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga bekerjasama dengan peneliti dari Baylor College of Medicine, Texas, Amerika Serikat menyusun sebuah tinjauan sistematis menentukan pendekatan terbaik untuk mencegah dan mengobati perforasi lambung duodenum sekaligus memeriksa beberapa faktor etiologi yang berhubungan dengan penyakit ini.

Peneliti melakukan tinjauan pustaka yang luas dengan mencari berbagai penelitian yang diperoleh dari PubMed, Science Direct, dan Cochrane dengan kata kunci berikut: perforasi gastroduodenal, Helicobacter pylori, penggunaan NSAID, efek samping perforasi gastroduodenal, laparoskopi, dan pembedahan. Hasil awal dari studi pustaka tersebut didapatkan sebanyak 883 artikel teridentifikasi. Setelah menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi, 53 penelitian memenuhi syarat untuk analisis dengan jumlah total 34.692 kasus perforasi lambung duodenum.

Hasil studi pustaka menunjukkan prevalensi H. pylori pada pasien dengan perforasi cukup tinggi. Prevalensi keseluruhan infeksi H. pylori di antara total 1.653 kasus perforasi adalah 58%. Infeksi H. pylori mempunyai peran besar dan penting dalam kejadian perforasi lambung duodenum. Selain itu, penggunaan obat golongan NSAID (Non-Steroidal Anti Inflamation Drugs) untuk pereda nyeri dan peradangan di antara total 8.076 pasien yang menggunakan rofecoxib dan naproxen mempunyai rasio risiko perforasi sebesar 0,40.

Rasio risiko yang dilaporkan di antara pasien yang menggunakan celecoxib, ibuprofen, naproxen, dan NSAID lainnya sedikit berbeda: masing-masing 0,44, 0,48, dan 0,49. Rasio risiko di bawah 1 menunjukkan bahwa risiko perforasi lambung duodenum pada kelompok terpapar NSAID relatif rendah. Namun, penelitian lainnya menunjukkan bahwa penggunaan NSAID jangka panjang meningkatkan prevalensi ulkus lambung duodenum. Terutama pada mereka yang mempunyai riwayat ulkus lambung. Sekitar 50% kasus ulkus lambung duodenum dengan komplikasi di Jepang disebabkan oleh NSAID. Sehingga ditekankan perlunya tindakan pencegahan berdasarkan faktor risiko.

Ulkus lambung yang dapat menyebabkan pecahnya lambung dapat dicegah dengan mengatasi infeksi H. pylori menggunakan obat-obatan. Sedangkan, dalam pemanfaatan NSAID diperlukan penanganan yang cermat, termasuk evaluasi terhadap potensi risiko dan resep. Membatasi konsumsi alkohol dan tembakau, mengikuti pola makan yang kaya gizi dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, dan mengontrol ukuran porsi juga dapat meningkatkan kesehatan sistem pencernaan. Selain itu, meditasi dan yoga juga dapat mengurangi stres kronis yang berpotensi memicu ulkus. Penggunaan penghambat pompa proton (PPI) dan penghambat histamine juga dapat membantu penyembuhan dan pencegahan ulkus dengan menjaga integritas lapisan mukosa. Pemeriksaan kesehatan rutin akan membantu mengidentifikasi dan mengobati kelainan yang dapat menyebabkan perforasi lambung.

Strategi pencegahan dengan menjaga berat badan yang sehat termasuk melakukan olahraga teratur, mengikuti diet seimbang, dan tidak menggunakan obat-obatan yang mengiritasi lambung juga merupakan langkah preventif untuk mencegah perforasi lambung duodenum. Identifikasi dan penanganan gejala gastrointestinal yang tepat waktu sangat penting untuk mencegah perforasi lambung. Pakar kesehatan dapat menghindari perforasi lambung dengan menerapkan prinsip-prinsip ilmiah ini dengan cara yang disesuaikan. Namun jika terjadi perforasi lambung yang parah, prosedur tertentu seperti laparoskopi atau pembedahan terbuka perlu segera dilakukan.

Artikel lengkap dapat diakses pada: https://doi.org/10.3390/jcm13041063

Penulis: Prof. Muhammad Miftahussurur, dr., M. Kes., Sp.PD-KGEH., Ph.D

Baca juga: Kenali Beda Gerd dan Asam Lambung serta Langkah Pencegahannya