Universitas Airlangga Official Website

Prevalensi Polifarmasi pada Lansia dengan Penyakit Kronis

Ilstrasi lansia (sumber: Lifestyle Okezone)

Dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk lansia yang meningkat, jumlah lansia dengan penyakit kronis meningkat secara drastis di berbagai negara. Penyakit kronis yang paling umum terjadi pada populasi lansia diantaranya adalah penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes melitus, demensia. Hal ini tentu selain menyebabkan gangguan pada fungsi fisik, juga dapat menimbulkan ketergantungan pada obat, biaya perawatan kesehatan yang tinggi, hingga memicu timbulnya risiko kematian. Sebuah penelitian menemukan bahwa sekitar 92% lansia cenderung memiliki setidaknya satu kondisi kronis, seperti penyakit jantung, diabetes melitus, stroke, dan kanker. Kondisi kronis ini menyebabkan lebih dari dua pertiga kematian setiap tahun. Meningkatnya terjadinya penyakit kronis pada kalangan lansia, menimbulkan kerentanan untuk mengkonsumsi banyak obat yang mengakibatkan terjadinya polifarmasi.  

Polifarmasi didefinisikan sebagai konsumsi lima atau lebih obat setiap hari. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek keamanan dalam pengobatan, termasuk peningkatan resiko obat yang berpotensi tidak tepat, ketidakpatuhan, reaksi obat merugikan, interaksi obat-obat, dan hasil kesehatan yang lebih buruk. Prevalensi polifarmasi dilaporkan tinggi pada negara-negara berkembang, penelitian di Mesir dan Vietnam menyebutkan prevalensinya masing-masing sebesar 85,3% dan 59,2%.4,5 Oleh karena itu, pemahaman komprehensif tentang prevalensi polifarmasi pada lansia menjadi perhatian utama, khususnya di negara-negara berkembang dengan jumlah populasi lansia dan penyakit kronis yang terus meningkat, termasuk Indonesia. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya polifarmasi pada pasien geriatri rawat inap saat keluar dari rumah sakit di Indonesia. Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif menggunakan rekam medis pasien rawat inap usia ≥ 60 tahun pada bulan Juli 2018 hingga Oktober 2019. Hubungan antara karakteristik demografi, karakteristik klinis, dan penyakit klinis dengan kondisi polifarmasi atau penggunaan lima obat atau lebih dinilai dengan menggunakan tiga model regresi logistik. 

Sebanyak 1.533 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar pasien (78,21%) berusia antara 60 dan 74 tahun. Rasio pasien laki-laki dan perempuan hampir sama 49,83% dan 50,16%. Prevalensi polifarmasi pada pasien geriatri rawat inap pada saat pulang dari rumah sakit tergolong tinggi, yaitu 52.15%. Tingginya prevalensi polifarmasi berkaitan dengan 96,3% pasien yang dirawat di rumah sakit memiliki kondisi kronis dan 59,23% pasien memiliki penyakit penyerta yang dapat mengakibatkan peningkatan jumlah resep obat saat pulang. 

Hasil analisis regresi I menghasilkan bahwa pasien yang memiliki kondisi kronis dan komorbiditas memiliki risiko yang jauh lebih untuk mengalami polifarmasi pada saat keluar rumah sakit. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit selama lebih dari tujuh hari memiliki skor Charlson Comorbidity Index  (CCI) 3 – 4 atau moderate dan mendapat polifarmasi saat masuk rumah sakit; mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap  kemungkinan mengalami atau mendapatkan polifarmasi. 

Selain itu hasil dari analisis regresi II menunjukkan bahwa pasien yang mengalami  infark miokard, gagal jantung kongestif, penyakit pembuluh darah perifer, penyakit serebrovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, diabetes melitus, diabetes dengan komplikasi, penyakit ginjal, dan tekanan darah tinggi merupakan prediktor yang signifikan untuk polifarmasi. 

Dari hasil analisis regresi model III menemukan bahwa faktor risiko dari terjadinya polifarmasi adalah komorbiditas, lama rawat inap di rumah sakit (7 hari atau lebih), penggunaan polifarmasi saat masuk rumah sakit, infark mikoard dan Coronary Heart Disease. 

Polifarmasi adalah hal yang umum di Indonesia dan berkaitan dengan kondisi kronis tertentu dan faktor klinis lainnya. Upaya kolaborasi dari dokter dan apoteker diperlukan untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat dan meminimalkan polifarmasi yang tidak tepat. 

Penulis : Elida Zairina

Artikel lengkap :

Faisal S, Zairina E, Nathishuwan S, Khotib J, Kristina S, Nugrahe G. Prevalence and predictors of discharge polypharmacy in geriatric patients discharged from an Indonesian teaching hospital: a retrospective observational study. Pharmacy Practice 2024 Jan-Mar;22(1):2900. https://doi.org/10.18549/PharmPract.2024.1.2900

Baca Juga: Potensi Artocarpus Sericicarpus sebagai Obat Penyakit Alzheimer