UNAIR NEWS – Program studi (prodi) Sastra Jepang Universitas Airlangga masih terbilang sebagai salah satu prodi yang baru. Berada di lingkup Fakultas Ilmu Budaya (FIB), prodi Sastra Jepang baru dibentuk pada tahun 2006 dan sudah mengalami banyak perkembangan di dalamnya.
Ketika ditemui di ruang kerjanya, Dwi Anggoro Hadiutomo, M.Hum., Ph.D., selaku Kepala prodi Sastra Jepang mengatakan bahwa prodi yang tengah dipimpinnya tersebut sudah dilengkapi dengan tenaga pengajar yang mempunyai keahlian di masing-masing bidang.
“Dosen–dosen yang kami miliki mempunyai keahlian yang beragam, bahkan ada juga yang menekuni budaya popular Jepang seperti cosplay dan anime,” tutur Dwi.
Selain itu, untuk menambah kemampuan mahasiswa dalam berbicara dan menulis huruf kanji prodi Sastra Jepang secara rutin mendatangkan Native asal Jepang untuk bisa membimbing secara langsung mahasiswa.
Untuk Native sendiri, Dwi menjelaskan bahwa prodi Sastra Jepang bekerja sama dengan beberapa lembaga Jepang, salah satunya adalah Ashinaga Foundation. Lembaga tersebut secara berkala bersedia mendatangkan mahasiswa asal Jepang ke Indonesia untuk belajar maupun membantu dosen membimbing mahasiswa dalam mengasah kemampuan berbahasa Jepang.
Tidak hanya itu, prodi Sastra Jepang juga dilengkapi dengan fasilitas laboratorium Bahasa Jepang yang memadai. Dalam kurikulum yang disusun prodi Sastra Jepang memberikan mata kuliah yang tidak hanya berupa kajian sastra dan budaya saja. Namun, juga dibekali dengan ilmu penerjemahan, korespondensi, dan juga mata kuliah pengajaran.
“Dengan begitu lulusan Sastra Jepang diharuskan unggul dalam Ilmu Kebahasaan,” imbuh Dwi.
Untuk kegiatan mahasiswa sendiri setiap tahunnya prodi Sastra Jepang memiliki kegiatan “Japanese World” yang dikelola oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang UNAIR (Niseikai). Kegiatan ini merupakan sebuah event yang menyelenggarakan festival seni, bazaar makanan, panggung hiburan, dan juga lomba-lomba yang semuanya disusun dengan mengangkat nuansa Jepang.
Tiap tahunnya Japanese World yang diadakan di Kampus B UNAIR dan selalu ramai dikunjungi pengunjung dari dalam kota maupun luar kota. Selain ingin menikmati acara, pengunjung juga ingin merasakan animo suasana Negeri Sakura di Surabaya.
“Jepang kan kaya akan tata tertib dan budaya popular, kita ingin hadirkan disini. Jadi disini (Sastra Jepang, -red), mahasiswa tidak melulu belajar Bahasa atau grammar tapi dibarengi dengan mempelajari budaya Jepang yang lain seperti minum teh, menonton film Jepang, dan bersama sama memasak masakan Jepang,” tambah Dwi.
Sesuai peninjauan berkala yang dilakukan prodi Sastra Jepang, 80% lulusan Sastra Jepang bekerja di berbagai macam bidang yang linier seperti di Bank Jepang, penerjemah, dosen atau guru Bahasa jepang, staf di perusahaan Jepang hingga Guide Tour.
Dwi juga mengatakan bahwa masyarakat selalu berpandangan bahwa prodi yang berawalan dengan “Sastra” selalu diidentikkan dengan puisi dan sajak. Padahal di sastra banyak yang bisa dipelajari, dari sastra sendiri, sejarah hingga budaya.
“Kita harus mengubah pola pikir tentang sastra. Jadi sastra itu dengan budaya yang menyangkut-menyangkut dengan kehidupan manusia. Pemikiran seperti itu harus mulai digaungkan. Jangan terjebak dengan pemikiran sastra yang sempit. Dengan artian lulusan sastra tidak hanya bisa jadi editor bahasa, tapi bisa di lingkungan kerja manapun,” tambah Dwi. (*)
Penulis : Faridah Hari
Editor : Nuri Hermawan