Universitas Airlangga Official Website

Sampah Makanan Rumah Tangga di Indonesia

Sampah makanan (food waste) merupakan salah satu masalah lingkungan global yang perlu segera diatasi sebagai langkah menuju keberlanjutan (sustainability). Secara eksplisit dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Target 12 (Konsumsi dan Produksi yang Berkelanjutan) telah ditargetkan pengurangan separuh sampah makanan global per kapita di tingkat ritel dan konsumen, dan secara substansial mengurangi timbulan sampah melalui pencegahan, pengurangan (reduce), daur ulang (recycle), dan penggunaan kembali (reuse).

Menurut Food and Agriculture Organization – FAO (2019) kurang lebih sepertiga dari seluruh pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang atau tidak dikonsumsi sebagaimana mestinya. Nilai total sampah makanan tersebut mencapai 1,3 miliar ton atau setara USD 990 miliar. Jumlah pangan tersebut cukup untuk memberi makan seperdelapan penduduk dunia yang menderita kelaparan. Selain itu, berbagai studi menyimpulkan bahwa sampah makanan juga membebani sistem pengelolaan sampah, memperburuk kerawanan pangan, dan salah satu kontributor utama masalah lingkungan seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran. United Nations Environment Programme – UNEP (2021) mengestimasi delapan hingga sepuluh persen emisi gas rumah kaca global disebabkan oleh makanan yang tidak dikonsumsi.

Sampah makanan menyumbang lebih dari seperempat sampah di Asia, khususnya di Asia Selatan dan Tenggara (FAO, 2013). Indonesia merupakan penyumbang sampah makanan terbesar ke-17 secara global. Fakta ini sungguh ironis dan sebuah paradoks mengingat Indonesia berada pada peringkat 70 dari 117 negara yang mengalami kelaparan parah. Sampah makanan rumah tangga di Indonesia sebanyak 77 kg per penduduk per tahun atau 20.938.252 ton per tahun (UNEP, 2021). Berdasarkan informasi yang disajikan dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional – SIPSN (2020), komposisi sampah terbesar berdasarkan jenisnya adalah sampah makanan (sekitar 40 persen), sedangkan berdasarkan sumbernya didominasi oleh rumah tangga.

Kajian empiris tentang sampah makanan rumah tangga telah dilakukan secara luas menggunakan data baik tingkat mikro maupun makro. Studi ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis determinan (faktor penentu) sampah makanan rumah tangga secara makro di tingkat provinsi di Indonesia tahun 2019-2020. Sampah makanan rumah tangga dalam studi ini diukur oleh sisa makanan yang berbentuk organik, tidak termasuk yang dibungkus baik dalam bentuk kertas, plastik, atau karet. Data tersebut bersumber dari SIPSN yang dinyatakan dalam kilogram per kapita (kg/tahun). Berdasarkan studi literatur dan ketersediaan data, determinan yang diuji dalam studi ini adalah sebagai berikut: (1) pendapatan, sebagai ukuran dari variabel ekonomi; (2) jumlah penduduk, sebagai proksi dari variabel demografi; (3) regulasi pemerintah daerah, diukur oleh ada tidaknya kebijakan dan strategi pengelolaan sampah di tingkat provinsi, (4) pendidikan, diukur oleh angka partisipasi sekolah; dan (5) kesadaran terhadap sampah, diukur oleh jumlah hasil sampah organik yang diolah oleh rumah kompos.

Hasil analisis menggunakan pendekatan kuantitatif menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pendapatan dan pendidikan berpengaruh negatif. Ini artinya meningkatkan pendapatan dan pendidikan dapat mengurangi volume sampah makanan rumah tangga. Hasil tersebut mengonfirmasi studi-studi terdahulu bahwa individu yang berpendapatan tinggi relatif memiliki akses terhadap energi listrik sehingga dapat menyimpan dan mengawetkan makanan lebih lama. Demikian pula individu dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan, keyakinan, sikap, perilaku, dan pilihan politik yang pro lingkungan.

Kedua, jumlah penduduk mendorong peningkatan volume sampah makanan. Hasil tersebut menegaskan kesimpulan studi-studi terdahulu bahwa jumlah penduduk merupakan determinan utama volume sampah makanan. Ketiga, regulasi pemerintah kurang efektif dalam mengurangi sampah makanan karena berbagai permasalahan sampah makanan yang kompleks, terutama di tingkat implementasi.

Keempat, kesadaran tidak berpengaruh terhadap sampah makanan rumah tangga. Meskipun berbagai studi menunjukkan bahwa pengelolaan sampah dengan metode pengomposan efektif, namun kegiatan tersebut tidak berkelanjutan di Indonesia karena lemahnya dukungan pemerintah, teknik yang tidak memadai, dan perilaku rumah tangga dalam mengolah sampah masih rendah. Hasil survei mengungkapkan sekitar 66,8 persen masyarakat Indonesia masih membakar sampah rumah tangga tanpa dipilah dan  hanya 1,2 persen yang melakukan proses daur ulang (BPS, 2018).

Studi ini memberikan rekomendasi agar pemerintah merumuskan kebijakan khusus terkait sampah, terutama sampah makanan, yang sampai saat ini belum ada. Selain itu, pemerintah juga diharapkan memberikan insentif fiskal untuk mengurangi sampah makanan. Kampanye informasi untuk mencegah pemborosan makanan di media sosial dan jaringan digital, pelatihan tentang pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga, adalah beberapa pilihan yang dapat diterapkan untuk membangun masyarakat yang lebih peduli terhadap masalah sampah makanan rumah tangga.

Oleh: Deni Kusumawardani

Artikel tersebut disarikan dari publikasi berjudul: “Household Food Waste in Indonesia: Macro Analysis”, Pol. J. Environ. Stud. Vol. 32, No. 6 (2023), 5651-5658. Link: https://doi.org/10.15244/pjoes/163157