Endometriosis adalah kondisi ginekologis yang umum terjadi dan memengaruhi sebagian besar wanita di tahun-tahun reproduksi mereka, dengan perkiraan 90 juta wanita di seluruh dunia mengalami infertilitas dan nyeri panggul terkait endometriosis. Kondisi ini ditandai dengan kualitas hidup yang menurun drastis karena prevalensi dan keparahan gejala nyeri yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Gejala-gejala ini meliputi nyeri haid, nyeri panggul non-menstruasi, dispareunia, dan infertilitas, dengan nyeri yang dilaporkan lebih intens dibandingkan pada wanita tanpa kondisi tersebut. Patofisiologi nyeri pada endometriosis melibatkan 3 jalur utama: Lesi endometriotik itu sendiri, sistem imun bawaan, dan sistem saraf perifer. Sel-sel endometrium yang tergeser mengalami pelepasan dan lokalisasi, memicu respons inflamasi melalui produksi sitokin dan mengakibatkan nyeri. Aktivasi makrofag dan aktivator inflamasi, seperti faktor nuklir kappa beta (NF-kB), menyebabkan aktivasi faktor pertumbuhan, sitokin, molekul adhesif, dan pelepasan mediator seperti prostaglandin E2 (PGE2).
Sitokin dan mediator ini secara langsung menstimulasi ujung saraf sensorik, menghasilkan sinyal nosiseptif dan mengaktifkan terminal serabut saraf sensorik, yang akhirnya menyebabkan nyeri. Pada endometriosis, menstruasi retrograde mengaktifkan NF-kB, faktor inflamasi, yang menyebabkan akumulasi zat besi (dalam bentuk heme) dan memulai respons inflamasi melalui jalur NF-kB. Aktivasi ini menghasilkan ekspresi gen yang terkait dengan inflamasi, adhesi seluler, invasi, proliferasi, dan angiogenesis, dengan aktivasi faktor pertumbuhan dan sitokin seperti NGF, interleukin-1β (IL-1β), dan faktor nekrosis tumor-alfa (TNF-α).
NGF ditemukan dalam lesi endometriosis di peritoneum dan memainkan peran penting dalam penyebaran nociceptor, meningkatkan jumlah neuron sensorik, dan berkontribusi terhadap nyeri inflamasi persisten. NGF menginduksi ekspresi substansi P (SP) dan peptida terkait gen kalsitonin, yang terkait dengan sinyal nyeri neuropatik. COX-2 mengatur produksi prostaglandin dari asam arakidonat, dan peningkatan kadar COX-2 menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin, yang memicu timbulnya nyeri dan peningkatan kadar PGE2 dalam cairan peritoneum wanita dengan endometriosis berkontribusi terhadap perkembangan dan pemeliharaan lesi endometriosis. PGE2 menghambat fagositosis makrofag dengan menekan matriks metaloproteinase-9 (MMP9) dan cluster of differentiation 36 (CD36), yang mendorong pertumbuhan lesi endometriosis. Lebih jauh, PGE2 merupakan mediator lipid penting dalam nyeri inflamasi, yang memainkan peran penting dalam mensensitisasi serabut saraf sensorik dan menyebabkan efek pronosiseptif.
Endometriosis adalah kondisi yang melemahkan yang dapat menyebabkan kemandulan dan berdampak buruk pada kesehatan reproduksi. Untuk mengetahui potensi sel punca dalam pengobatan endometriosis, para peneliti telah memberikan sel punca pada model hewan endometriosis untuk mengevaluasi efeknya pada ekspresi NF-kB, NGF, COX2, dan PGE. Sehubungan melakukan riset menggunakan imunohistokimia pada jaringan manusia tidak etis, tikus biasanya digunakan sebagai model hewan endometriosis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian Sel Punca Mesenkimal (MSC) terhadap ekspresi konsentrasi NF-kB, NGF, dan PGE2 pada model tikus endometriosis. Tiga puluh tiga tikus dibagi secara acak menjadi 3 kelompok yaitu non-endometriosis (P0), endometriosis tanpa pengobatan (P1), dan endometriosis dengan pemberian MSC (P2). Hasil penelitian menunjukkan pemberian MSC secara signifikan menurunkan ekspresi NF-kB dengan ditemukannya 2 kelompok skor (P1: 6,96 ± 0,13 dan P2: 4,446 ± 0,228) dan NGF (P1: 7,118 ± 0,629 dan P2: 4,927 ± 1,187) serta PGE2 (P1: 1005,862 ± 176,656 dan P2: 891,218 ± 54,031). Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian MSC mampu menurunkan ekspresi NF-kB dan NGF, tetapi tidak terhadap PGE2. Saran yang dapat disampaikan adalah MSC memiliki potensi nilai terapeutik dalam mengelola nyeri terkait endometriosis dengan memodulasi faktor inflamasi dan neurotropik.
Penulis: Widjiati
Publish di Jurnal: Trends in Sciences (TiS)
Link artikel: https://tis.wu.ac.th/index.php/tis/article/view/8394/997
Link jurnal: https://tis.wu.ac.th/index.php/tis/article/view/8394