Selama beberapa tahun terakhir, karena banyak negara menghadapi masalah keamanan pangan, mereka mulai membangun sistem ketertelusuran makanan mereka sendiri, termasuk Taiwan. Taiwan memiliki beberapa masalah keamanan pangan dalam dekade terakhir, seperti kontaminasi dengan plasticizer ftalat atau dengan bahan bakar yang berasal dari limbah pertanian, seperti sisa minyak dari makanan dan minyak goreng bekas. Akibatnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Taiwan dan pakar keamanan pangan membuat beberapa peraturan, sehingga memperkuat pemahaman publik tentang konsep keamanan pangan dasar. Untuk meningkatkan manajemen keamanan pangan dan membangun kepercayaan konsumen, pemerintah Taiwan mengusulkan kebijakan “lima cincin keamanan pangan” pada Juni 2016. Untuk mengatasi strategi kedua dalam lima cincin kebijakan keamanan pangan Taiwan (“membangun kembali sejarah manajemen produksi”), pemilihan preferensi makanan dengan label yang dapat dilacak sudah dipromosikan dalam makan siang anak-anak sejak 2016. Kebijakan ini mendorong sekolah untuk memilih makanan dengan label yang dapat dilacak untuk studi retrospektif, yang disebut sebagai “4-label-1- Q.” Salah satu penelitian menyarankan bahwa resiko persepsi mengenai keamanan pangan didasarkan pada kesadaran subjektif dan pengetahuan tentang resiko. Studi lain menemukan bahwa persepsi risiko membantu menjelaskan perilaku pembelian konsumen karena konsumen berusaha memaksimalkan utilitas dan menghindari kemungkinan kerugian. Namun, banyak faktor eksternal dan internal dapat mempengaruhi persepsi risiko individu, dan factor-faktor ini berintegrasi menjadi perasaan psikologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi risiko objek produk antara lain bahan makanan, merek produsen, dan label makanan. Dengan demikian, studi di atas menemukan bahwa ketika konsumen membuat keputusan dalam membeli makanan, mereka tidak hanya melakukan penilaian manfaat merek dalam perilaku bawah sadar mereka, tetapi mereka juga memeriksa label dan nutrisi pembuatan produk sesuai dengan kebutuhan kesehatan individu. Berdasarkan premis di atas, penelitian ini mengeksplorasi hubungan antara tingkat keakraban dengan label makanan pada makanan segar dan persepsi risiko peserta. Kami menyelidiki lebih lanjut apakah sistem kemampuan penelusuran makanan pada akhirnya dapat memengaruhi niat pembelian dan apakah memberikan informasi tentang label yang dapat dilacak makanan kepada peserta dapat mendorong pembelian makanan
Penelitian ini dilakukan di kota Tainan di Barat Daya Taiwan. Penyesuaian dan pengembangan kuesioner dilakukan untuk menilai dampak pengetahuan label dan persepsi risiko terhadap niat beli di antara pembeli makanan keluarga utama di Tainan. Kuesioner memiliki lima bagian: (i) karakteristik demografis (jenis kelamin, usia, pekerjaan, dll.); (ii) pengetahuan tentang label makanan yang dapat dilacak (4-label-1-Q) (lihat Bahan Tambahan, File 1); (iii) persepsi risiko makanan segar (risiko fisik, risiko kinerja, risiko keuangan, dll.); (iv) edukasi singkat tentang informasi label (film edukasi); dan (v) niat beli terhadap makanan segar yang dapat dilacak, termasuk kesediaan untuk membayar produk makanan dengan label. Pengumpulan data dilakukan di setiap wilayah diantaranya pasar tradisional, hypermarket, supermarket, dan convenience store. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang label secara signifikan mempengaruhi persepsi resiko konsumen, usia, tingkat pendidikan, dan tingkat persepsi risiko mempengaruhi niat beli. Hasil juga menunjukkan bahwa setelah diberikan edukasi melalui film, pengetahuan terkait label dan niat beli meningkat secara signifikan. Namun, setelah disesuaikan dengan usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan tempat pembelian, pengaruh edukasi melalui film terhadap persepsi risiko tidak signifikan, terutama bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah, termasuk mereka yang berusia di atas 65 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pendidikan konsumen melalui peningkatan kualitas, ketertelusuran, pelabelan dan komunikasi dapat ditargetkan dan hal ini sesuai dengan penelitian tentang hubungan niat beli dengan pengetahuan label dan persepsi resiko. Peningkatan kepercayaan publik terhadap sistem ketertelusuran pangan diperlukan dalam penerapan label pangan yang dapat dilacak secara ketat dan peningkatan frekuensi pengambilan sampel yang tidak teratur. Selain itu, industri makanan harus secara bertahap mengintegrasikan label dan mengunggah informasi produksi untuk meningkatkan sistem penelusuran makanan. Penelitian ini berhasil menggunakan film pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan label dan niat beli. Pengembangan strategi komunikasi risiko yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan pelabelan di antara kelompok usia yang berbeda, termasuk langkah-langkah untuk mendorong penjualan makanan berlabel di pasar tradisional, akan menjadi strategi penting di masa depan.
Penulis: Trias Mahmudiono, S.KM., M.P.H., Ph.D.
Judul Artikel :
Food Traceability Systems, Consumers’ Risk Perception, and Purchase Intention: Evidence from the “4-label-1-Q” Approach in Taiwan
Link Scopus :